Perkembangan teknologi yang semakin pesat dewasa ini, menuntut setiap
orang untuk ikut mempercepat langkahnya agar tak ketinggalan. Istilah
gagap teknologi pun mulai dikenal seiring dengan meningkatnya ragam
produk-produk teknologi terbaru beserta aplikasi dan inovasinya. Terlalu
pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini lantas mengubah seluruh
tatanan kehidupan manusia yang mau tidak mau ikut terseret dalam
gelombang perubahan besar-besaran tersebut.
Kekhawatiran akan fenomena gagap teknologi itu lantas memunculkan
sebuah pertanyaan tentang bagaimana seharusnya seseorang membuka diri
terhadap perkembangan tanpa terhanyut dengan arus negatif yang
menyertainya. Dalam hal ini, sosok yang paling mungkin menjadi korbannya
adalah anak-anak dan remaja. Sebab secara psikologi, anak-anak adalah
peniru yang hebat. Mereka juga sangat mudah mempelajari sesuatu bahkan
tanpa bimbingan orang dewasa sekalipun. Sedangkan remaja yang sedang
mengalami masa transisi dari anak-anak menuju dewasa, cenderung tidak
mudah untuk mendengarkan pendapat orang lain, sekalipun pendapat itu
benar.
Problematika ini tentunya membutuhkan perhatian khusus dari orang tua
dan guru sebagai pihak yang dianggap paling bijaksana dalam menyikapi
pengaruh globalisasi. Orang tua dan guru dituntut untuk mengikuti dan
mempelajari perkembangan teknologi saat ini dalam rangka membimbing
anak-anaknya agar tidak terpengaruh dengan hal-hal yang negatif. Sebab,
pendidikan yang diberikan untuk generasi sebelum ini, sudah tidak
relevan lagi untuk digunakan. Generasi masa kini atau yang marak disebut
kids zaman now ini adalah generasi yang lahir dengan situasi
yang berbeda 360 derajat dengan generasi sebelumnya yang masih belum
terpapar efek negatif teknologi.
Dalam tulisannya yang dimuat di republika.co.id (Salim, Satiwan; 2017;
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/11/03/oyu6oz396-teacher-dan-parent-zaman-old-mendidik-kids-zaman-now, diakses tanggal 24 November 2017)
kids zaman now
didefinisikan sebagai generasi Z yang lahir di rentang tahun 1995-2010.
Jika dihitung kemudian, anak-anak generasi Z ini memiliki rentang usia
7-22 tahun dan saat ini sedang duduk di bangku sekolah mulai SD, SMP,
SMA hingga perguruan tinggi. Dalam tulisan yang sama, Satiwan Salim
juga mengungkapkan bahwa berdasarkan data demografis pada tahun 2010,
keberadaan
kids zaman now ini sangat potensial dalam pengembangan pertumbuhan perekonomian nasional.
Artinya, generasi ini adalah generasi yang sangat besar pengaruhnya
dengan kehidupan bangsa di masa mendatang. Merekalah calon pemimpin,
pendidik, ekonom, ilmuwan, dokter, dan orang tua di masa depan.
Merekalah yang akan menggantikan generasi pemimpin saat ini yang dididik
dengan pendidikan zaman dahulu dan ditempa dengan adat istiadat serta
kebiasaan zaman dahulu pula.
Jika generasi zaman dahulu diminta berlari sekuat tenaga untuk mampu
mengejar pesatnya perkembangan teknologi agar tidak berakhir menjadi
generasi gagap teknologi, maka generasi zaman dahulu yang saat ini
tentunya sudah menjadi orang tua dan mungkin guru, juga dituntut untuk
mau berlelah-lelah, bersusah payah dan barangkali jungkir balik untuk
mampu mengiringi serta menuntun para
kids zaman now ini untuk kelak layak menjadi pemimpin bangsa.
Mereka-mereka yang sedang duduk menatap layar sambil memainkan
jarinya untuk sekedar menjadi jawara dalam permainan adalah calon
pemimpin. Mereka yang sedang duduk berduaan sambil merekam adegan yang
entah disebut apa dengan memakai seragam merah putih mereka adalah calon
pemimpin. Dan mereka yang berada di sudut sana dan sedang sibuk dengan
percakapan di akun media sosialnya adalah calon pemimpin. Mereka
pastinya keras kepala, berkeinginan kuat dan sulit diatur. Karena
begitulah memang karakter seorang pemimpin. Namun, apakah lantas semua
akan berubah begitu saja? Akankah generasi Z itu mampu menjadi pemimpin
tanpa adanya didikan untuk mereka? Tentu saja jawabannya tidak.
Orang tua dan para pendidik tentunya tidak bisa apatis saja menyaksikan begitu dahsyatnya gelombang persatuan
kids zaman now
yang mulai sulit dikendalikan. Ibarat layang-layang, bukan lagi angin
yang menerbangkannya ke kanan dan ke kiri hingga sulit dipegang,
melainkan layang-layang itu sendiri yang bergerak begitu cepatnya seakan
tali kekang itu akan putus. Sehingga, ketika yang memegang tali kekang
itu memilih untuk menariknya paksa, ia pun seketika putus.
Dan siapakah penarik tali kekang itu? Merekalah orang tua, guru dan
masyarakat. Merekalah yang harus mampu berinovasi untuk menarik kembali
layang-layang itu ke arah yang benar, tanpa harus memutusnya atau
membiarkannya terbang begitu saja. Orang tua, guru dan masyarakat harus
mampu mengubah secara total paradigma lama yang mereka anut dan meng-
installnya dengan paradigma baru yang sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib ra,
“
Wahai kaum muslim, didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu”.
Tidaklah lagi bisa seorang pendidik menuntut siswanya untuk duduk
diam dan mendengar lalu menelan mentah-mentah ucapan gurunya. Pun tidak
jua bisa orang tua secara diktator menetapkan peraturan di rumah begitu
saja tanpa adanya pemberontakan jiwa maupun raga anak-anaknya. Pendidik
dan orang tua adalah dua pihak yang harus memahami bahwa cara lama yang
mungkin berhasil untuk mereka itu tidaklah lagi efektif untuk
diterapkan. Sebagaimana penggunaan sepeda kayuh yang mulai beralih
dengan kendaraan bermotor. Atau tutupnya warung telekomunikasi karena
tak mampu bertahan menahan derasnya laju perkembangan teknologi ponsel
pintar yang sudah bagaikan makanan pokok. Begitupula proses pendidikan
lama yang mulai tergerus dahsyatnya globalisasi.
Lantas, apa yang harus dilakukan untuk mampu mendidik generasi
kids zaman now ini? Satu hal yang harus dipercaya adalah bahwa setiap anak memiliki fitrah kebaikan dan tentunya juga para
kids zaman now.
Sehingga, memberi cap mereka sebagai generasi yang sulit dikendalikan
ataupun generasi yang buruk bukanlah sebuah solusi. Hal itu justru mampu
menghancurkan fitrah kebaikan mereka.
Berikut ini, langkah yang dapat dilakukan dalam mendidik para
kids zaman now agar kelak mereka mampu menerima beban warisan bangsa di masa depan.
Pertama,
Mendidik dengan hati
Meskipun teknologi telah berhasil memenangkan hati,jiwa dan pikiran
semua orang, tetap benda itu tak akan mampu sepenuhnya mengobati
hati-hati yang kesepian. Meskipun para
kids zaman now ini
seakan bahagia dengan kesibukannya bersama alat teknologinya, sejatinya
mereka tetap merindukan belaian, pelukan, tatapan cinta dan perhatian
dari sosok orang tua dan pendidik mereka.
Mendidik generasi Z harus dengan hati yang tulus. Tatap mata mereka
ketika berbicara, sejajarkan tubuh agar mereka tak merasa digurui,
berikan sentuhan jika itu memungkinkan dan bicaralah dengan hati.
Akuilah mereka, dengar mereka dan libatkan hati untuk sepenuhnya memberi
perhatian pada mereka.
Biarkan mereka bicara tentang apa saja yang mereka impikan, pikirkan,
inginkan, bahkan meskipun itu tidak penting, aneh atau bahkan adalah
sebuah kesalahan besar. Tetap, dengarkan dengan hati!
Kedua,
Hargailah Mereka
Beri perhatian pada apa yang mereka sukai. Hargai jika mereka baru
saja memenangkan sebuah pertandingan dalam permainan jika yang sedang
diajak bicara adalah generasi
gamers. Jalinlah komunikasi
dengan mereka dengan banyak mencari tahu tentang apa-apa yang mereka
sukai, agar komunikasi yang terjalin bisa lebih mudah mengalir. Jangan
sampai ada batas antara orang tua dan anaknya, pun dengan guru dan
siswanya. Sehingga, jika hal itu berhasil dilakukan, anak-anak dan
remaja akan mudah untuk diarahkan dan diingatkan jika mereka keliru.
Ketiga
Libatkan mereka dengan memberi mereka peran
Kadangkala usaha orang tua maupun guru untuk menjalin komunikasi
dengan anak tidak berjalan dengan mudah. Salah satunya adalah karena
sulitnya meruntuhkan batas antara menjadi orang tua, pendidik atau
menjadi sahabat untuk anak. Cara yang paling mungkin untuk mengatasi hal
tersebut adalah dengan mencoba melibatkan mereka dalam permasalahan
yang dihadapi khususnya permasalahan dalam keluarga.
Walaupun maksud orang tua untuk tidak melibatkan anaknya dalam
permasalahan keluarga adalah baik, agar anak tidak ikut memikirkan hal
yang berat dan fokus pada sekolahnya. Namun, kadangkala hal tersebut
secara tidak langsung menimbulkan jarak antara orang tua dan anak. Anak
merasa kurang dihargai, apalagi jika ia sudah memasuki usia remaja.
Mereka cenderung ingin dianggap penting.
Apalagi anak-anak generasi
kids zaman now ini sangat mudah
mengakses informasi-informasi yang menyebabkan mereka cenderung lebih
cerdas untuk mampu memahami situasi. Jika orang tua tidak mampu
menyembunyikan ekspresi dan mimik mereka ketika menghadapi masalah, anak
akan dengan mudah membacanya. Dan jika mereka tidak dilibatkan tentu
akan membuat mereka merasa terasing bahkan semakin terbebani.
Ajaklah mereka berdiskusi dan ijinkan mereka untuk mengemukakan
pendapat. Agar mereka merasa dianggap “ada” di dalam rumahnya sendiri
dan tidak mencoba mencari kesibukan lain di luar yang seringkali sulit
diamati orang tua. Dalam hal ini, orang tua perlu memilah-milah pula,
masalah apa yang sebaiknya disampaikan ke anak, Jika memang terlalu
rumit dan besar, barangkali cukup disampaikan secara umum terlebih
dahulu. Dan tentunya perlu menyesuaikan dengan usia dan emosi anak pula.
Dikutip di republika.co.id (Hapsari, Endah; 2012;
http://m.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/12/09/09/ma2jf0-bolehkah-orang-tua-curhat-pada-anak, diakses 24 November 2017), hal yang perlu dipertimbangkan orang tua sebelum curhat ke anak, diantaranya :
- Usia, kemampuan berpikir, kehidupan emosi dan perasaan anak.
Hasil penelitian tentang pengasuhan yang dilakukan di luar negeri
menunjukkan bahwa masalah keuangan sebaiknya tidak dibicarakan atau
tidak ditunjukkan pada anak di bawah usia 6 tahun.
- Penggunaan kalimat saat menjelaskan
Orang tua berkewajiban memberikan penjelasan sesuai usia anak tentang
apa yang terjadi dengan kalimat pendek, tetapi jelas. Misalnya, jika
mempunyai anak usia 3 tahun yang menyaksikan pertengkaran kecil antara
Ibu dan Bapak. Setelah itu selesai, Ibu mencoba mengendalikan emosi dan
mengatakan pada anak dengan suara rendah, ”Maaf ya Nak, tadi suara Mama
dan Ayah jadi tinggi. Kami agak marah, ada yang kurang cocok
pikirannya.”
Kalau anak sudah sedikit lebih besar, kita dapat menambahkan, ”Hal
seperti ini biasa terjadi antara orang dewasa!.” Ini penting dilakukan
agar anak mengerti apa yang terjadi dan untuk meredakan ketegangan dan
kecemasan yang dimilikinya.
Keadaan dan situasi anak juga perlu dipertimbangkan. Jangan
melibatkan anak bila mereka sendiri sedang dalam atau menghadapi banyak
masalah. Cara penyampaian masalah juga penting. Hindari menyampaikannya
ketika emosi kita sedang tinggi. Sehingga kawatir jalan keluar yang
diperoleh juga tidak atau kurang bijaksana.
Keempat
Beri konsekuensi bukan sanksi
Jangankan
kids zaman now, para orang tua dan juga pendidik
ketika masa kecil dahulu tentunya tidak nyaman saat diberi hukuman tanpa
kesepakatan terlebih dahulu. Ketika pulang terlambat atau berkelahi
dengan saudara, tiba-tiba diberi hukuman seperti dipukul atau dipotong
uang sakunya padahal sebelumnya tidak pernah diajak untuk berdiskusi
terkait kesepakatan tersebut, tentunya menimbulkan kekesalan di dalam
hati.
Kids zaman now yang cenderung lebih
up to date
terhadap banyak hal, pastinya akan lebih mudah protes ketimbang ketika
orang tuanya masih kecil dulu. Anak-anak zaman dulu biasanya nurut
dengan orang tua karena takut. Sedangkan anak zaman sekarang cenderung
berani dalam mengemukakan pendapat mereka, terutama jika mereka merasa
benar.
Meskipun di satu sisi terkesan bahwa mereka kurang sopan, namun jika diamati dari sisi positifnya,
kids zaman now
adalah anak-anak yang kritis yang hanya perlu diarahkan dan diajarkan
tentang adab dalam menyampaikannya saja. Karena itu, dalam memberi
sanksi kepada
kids zaman now, orang tua maupun guru tidak lagi bisa menerapkan metode lama.
Anak-anak sebaiknya tidak diberi sanksi, melainkan diberi konsekuensi
yang sudah disepakati bersama sebelumnya. Misalnya di suatu waktu,
anak-anak diajak berdiskusi tentang apa-apa saja yang tidak boleh untuk
mereka. Biarkan mereka menentukan sendiri konsekuensinya dan orang tua
hanya tinggal mengingatkan saja jika anak melakukan kesalahan. Biarkan
mereka mengingat sendiri konsekuensi apa yang harus mereka lakukan
sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama.
Kelima
Terima mereka apa adanya, bimbing untuk menjadi lebih baik dan doakan mereka.
Dalam sebuah postingan yang ditulis Harry Santosa di akun media sosialnya (Santosa, Harry; 2017;
https://www.facebook.com/harry.hasan.santosa/posts/10214453990573684,
diakses 24 November 2017), ada tulisan yang menarik untuk direnungkan
pada orang tua maupun guru. Salah satu baitnya adalah orangtua mengeluh
anak gadis atau anak perjakanya males gerak atau kecanduan game Padahal
secara fitrah tiap anak sejak bayi sangat suka bergerak dengan antusias
dengan tubuh yang luwes .Orangtuanyalah dulu yang menyuruhnya banyak
diam agar segera berstatus “shaleh” dan memberinya gadget agar diam
Artinya, secara tidak sadar, orangtualah yang membentuk kepribadian
anak, namun ketika kepribadian itu sudah melekat, orang tua justru tidak
mau menerima dan malah menyalahkan anak.
Dalam postingan yang sama, Harry santosa juga mengajak para orang tua
untuk bertaubat, banyak berdoa agar Allah mengembalikan fitrah anak
anak. Sebagaimana tercantum dalam hadits,
“Setiap anak dilahirkan dlm keadaan fitrah (Islam), maka kedua
orang tuanyalah yg menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR.
al-Bukhari&Muslim)
Artinya, anak-anak sebenarnya memiliki fitrah-fitrah kebaikan, termasuk para
kids zaman now yang
mungkin fitrah kebaikannya sedang terganggu oleh derasnya arus
teknologi dan informasi yang tidak mampu tersaring lagi. Dan kenyataan
bahwa mereka masih menyimpan fitrah kebaikan itu adalah sebuah
penyemangat bagi para orang tua maupun guru untuk terus berusaha
memperbaiki dan mendoakan anak-anak khususnya generasi saat ini, agar
mereka bisa kembali pada fitrah mereka.
Sebagai pendidik di masa kini, sepatutnya guru dan orang tua tidak
berputus asa menghadapi generasi Z yang sudah terlanjur terpapar dengan
kejamnya perubahan zaman. Sebagaimana firman Allah dalam surah Az Zumar
ayat 53
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap
diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Barangkali diantara para generasi Z tersebut, ada anak-anak yang
tidak terpenuhi fitrahnya semasa kecil. Semasa dimana Rasulullah SAW
menganjurkan kepada orang tua untuk senantiasa berlemah lembut terhadap
anak yang masih berusia dari 0 hingga 6 tahun. Memanjakan, memberikan
kasih sayang, merawat dengan baik dan membangun kedekatan dengan anak.
Jika di masa-masa emas tersebut anak-anak tidak mendapatkan apa yang
seharusnya mereka dapatkan, tentunya akan ada gejolak yang terjadi di
masa berikutnya, ketika merika berusia 7 tahun ke atas. Itulah salah
satu hal yang menyebabkan generasi Z atau generasi
era kids zaman now menjadi
sangat istimewa. Sebab mereka tidak hanya diuji dengan derasnya arus
negatif teknologi, tetapi juga kurang dibekali dengan keimanan dan kasih
sayang ketika masa kanak-kanak.
Namun, tentunya para pendidik, khususnya orang tua tidak lantas
menyibukkan diri dengan menyesali apa-apa yang sudah terlewat. Meskipun
masa-masa bersama anak tidak akan mungkin pernah terulang, namun
menyesali tidak akan bisa mengubah semua yang telah terjadi. Yang perlu
dilakukan orang tua maupun guru untuk mengubahnya adalah dengan
me-reinstall cara mendidik anak-anak generasi
kids zaman now ini. Ulangi proses-proses yang sempat terlewat dan lakukan perbaikan secara perlahan.
Yakinlah, insyaAllah, generasi anak-anak masa kini masih punya masa
depan yang cerah dan cemerlang selama para guru, orang tua dan
masyarakat mau peduli dan bahu membahu untuk mendidik dan mendampingi
mereka dalam menghadapi kerasnya ujian di era teknologi informasi ini.
Dan tentunya diperlukan kerjasama yang harmonis diantara para pendidik,
agar fitrah kebaikan dalam diri anak-anak yang telah terpendam lama
dapat tumbuh dan bersemi kembali.
Irasari Sevi Widya H, S.Pd
- Pemenang Juara Harapan 1 Lomba Esai dalam rangka Hari Guru Nasional 2017 JSIT Indonesia
- Penulis adalah seorang guru IPA di SMPIT Al Khawarizmi Tanah
Grogot Kabupaten Paser Kalimantan Timur. Aktivitas ini telah ditekuni
sejak tahun 2011 hingga saat ini. Ibu dari 1 putri ini hobi menulis
sejak SMA dan telah menulis beberapa antologi bersama rekan-rekan
penulis lainnya
Sumber: http://jsit-indonesia.com/2017/12/04/membangkitkan-fitrah-kebaikan-dalam-mendidik-generasi-kids-zaman-now/