Selama ini buku-buku yang membahas tentang kesesatan pemikiran liberal disajikan dalam format ilmiah yang cukup berat untuk dibaca, apalagi untuk kalangan awam. Adian Husaini, sebagai salah seorang cendekiawan yang konsentrasi dalam menangkis pemikiran liberal, membuat terobosan baru yang cukup unik: menulis sebuah novel. Barangkali ini adalah novel pertama yang ditulisnya.
Adian mengangkat dua orang santri yang bernama Kemi dan Rahmat sebagai tokoh sentral dalam novel ini. Keduanya adalah santri di Pesantren Minhajul Abidin dibawah asuhan Kyai Aminuddin Rois. Mereka adalah santri teladan di pesantren sehingga mendapatkan tugas dari Kyai Rois untuk mengabdi mengajar beberapa tahun di pesantren.
Alkisah, Kemi, mohon pamit kepada Kyai Rois untuk melanjutkan kuliah di Jakarta. Meski Kyai Rois keberatan dengan kepergiannya, tetapi Kemi tetap mendesak untuk pergi. Di kemudian hari diketahui ternyata kenekatan Kemi pergi karena ia dililit hutang kepada Farsan, kakak kelasnya yang mengajak keluar dari pesantren.
Dari sinilah perubahan pemikiran Kemi dimulai. Di Jakarta ini Kemi terjebak dalam sebuah kejahatan kerah putih yang tidak disadarinya. Ia diperalat untuk menyebarkan paham liberalisme, pluralisme, dan relativisme di pesantren, sekolah dan kampus dengan dukungan dana asing. Selain Kemi dan Farsan, ada juga Siti, mahasiswi cantik putri Kyai Haji Amin Ma’rifat seorang ahli fiqh tersohor di Serang Banten yang terjebak di komunitas yang sama.
Kepergian Kemi ke Jakarta membuat Rahmat curiga, karena dianggap terlalu tergesa-gesa. Rahmat merasakan ada sesuatu yang disembunyikan dari sahabat karibnya itu. Belakangan diketahui bahwa Kemi menanggung hutang kepada Farsan, sehingga terpaksa mengikuti kata-kata Farsan pergi ke Jakarta. Karena Farsan-lah Kemi berubah pikiran menjadi liberal.
Farsan adalah santri Minhajul Abidin, kakak kelas Kemi dan Rahmat, yang berpikiran liberal sejak keluar dari pesantren. Karena khawatir sahabatnya akan terkena virus liberal itu, Rahmat menyusul Kemi pergi ke Jakarta. Mereka pun berdebat panjang lebar tentang liberalisme, pluralisme, dan relativisme (hal. 45-79). Menurut Kemi, perubahan pola pikir menjadi liberal itu tidak bisa dihindari setelah ia bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang dari agama dan keyakinan yang berbeda. Kemi pun yakin jika Rahmat berada pada posisi Kemi maka ia pun akan sama: menjadi liberal.
Tetapi Rahmat tidak menerima alasan Kemi. Menurutnya perubahan pola pikir Kemi bukan karena kondisi lingkungannya, tetapi karena lemah iman dan kurang ilmu (dha’ful-iman wa qillatul-ilmi). Ia pun bertekad akan membuktikan bahwa pola pikir seseorang yang kuat imannya tidak akan terpengaruh oleh lingkungannya. Rahmat akan menunjukkan pada Kemi bahwa meskipun ia bergaul dengan orang-orang yang berpandangan aneh, ia akan sekuat tenaga menjaga iman dan pikirannya.
Singkat cerita Rahmat pun menyusul Kemi ke Jakarta dengan satu misi: menyadarkan akan kesalahan Kemi dan membawanya pulang kembali ke pesantren. Sebelum ke Jakarta, Rahmat diberi bekal khusus oleh Kyai Rois dengan ilmu jurnalistik dan materi-materi tentang Sipilis (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme). Ia juga dikirim untuk berguru kepada Kyai Fahim Rupawan, pimpinan sebuah pesantren di Ponorogo yang memimpin lembaga khusus menangani pemikiran dan peradaban Islam (hal. 107).
Novel ini pun menceritakan lika-liku Rahmat ketika berada di lingkungan baru. Bagaimana pergaulan lelaki-wanita yang sangat biasa, tidak seperti pesantren yang sangat terjaga. Bagaimana kualitas ibadah Kemi yang jauh menurun. Tentang debatnya Rahmat dengan Prof. Malikan yang membuat seluruh kampus ramai. Sampai terbongkarnya sindikat Roman.
Meskipun dari segi substansi novel ini sangat bagus, akan tetapi dari segi jalannya cerita terkesan dipaksakan. Misalnya, ada seorang Kyai liberal dari Jawa Barat bernama Kyai Dulpikir yang meninggal setelah berdebat dengan Rahmat. Menurut saya adegan ini dipaksakan, karena yang ditampilkan bukanlah debat panjang dan seru seperti debatnya Rahmat dengan Kemi (hal 45-79) atau debatnya Rahmat dengan Prof. Abdul Malikan, Rektor Institut Damai Sentosa (hal. 165-173). Mungkin akan lebih bisa diterima jika yang meninggal setelah debat adalah Prof. Malikan.
Satu hal lagi persoalan ringan tetapi cukup menganggu dalam novel. Yakni penyebutan istilah untuk orang yang haram dinikahi dengan sebutan muhrim. Padahal mestinya mahram. Hal ini tertulis dua kali, yakni pada halaman 44 dan halaman 145. Ada juga pengulangan adegan. Yakni saat ditampilkan wawancara antara Bejo Sagolo (wartawan majalah Paginasia) dengan Doktor Ita. Pertanyaan Bejo pada halaman 206 diulang lagi pada halaman 221.
Membaca novel ini berarti kita sekaligus mendapatkan dua manfaat. Pertama, memahami metode berpikir orang-orang liberal. Kedua, mengetahui cara mematahkan logika mereka. Jika kita ingin mudah belajar mengenal filsafat maka kita bisa membaca novel Dunia Sophie, tetapi jika kita ingin memahamai cara berpikir orang liberal sekaligus ingin mematahkan argument mereka, maka bacalah novel ini! ~~~GuruGO.blogspot.com~~~
NB: Tulisan ini sudah dimuat di Majalah Tabligh Muhammadiyah edisi No.3/II-Th.VIII/Dzulhijjah 1431 H namun tidak di rubrik resensi. Redaksi majalah ini memuat tulisan saya ini di rubrik Gazwul Fikri
+ Komentar + 1 Komentar
Mau tanya, novel ini benar-benar terjadi atau hanya rangkaian penulis untuk menjelaskan paham pluralisme, liberalisme, dsb dengan mudah oleh masyarakat melalui novel ini?
Barangkali Guru GO bisa bantu saya untuk menghilangkan keraguan dan ketidaktahuan saya. Trmksh
Posting Komentar
Anda merasa mendapatkan KEBAIKAN dari postingan ini? SILAHKAN BERKOMENTAR secara santun, bijak, dan tidak menghakimi. TERIMAKASIH telah sudi meninggalkan komentar di sini. Semoga hidup Anda bermakna. amin...