Inilah bulan Sya’ban dimana orang beramai-ramai mengadakan
pesta, baik perkawinan, sunnatan, ruwahan, dan lain sebagainya. Entah siapa
yang memulai, tapi yang jelas apa yang mereka lakukan tidaklah sesuai dengan
kebiasaan Rasulullah ketika Sya’ban bertandang. Rasulullah ketika datang bulan
Sya’ban bukannya berpesta, tetapi justru memperbanyak puasa sunnah. Rasulullah
bersabda:
“Sya’ban
adalah bulan di mana amal-amal diangkat kepada Rabb Semesta Alam; maka aku suka
jika amalku diangkat, sedang aku dalam keadaan puasa”. (HR. Ahmad dan Nasa’i) Karena itu, berdasar riwayat shahih
disebutkan bahwa Rasulullah SAW berpuasa pada sebagian besar hari di bulan
Sya‘ban. ‘Aisyah berkata:
فَما رَأَيْتُ رَسُولَ
اللهِ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وما رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا
مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Tak
kulihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya dalam sebulan penuh, selain di
bulan Ramadan. Dan tidak aku lihat..” bulan
yang beliau paling banyak berpuasa di dalamnya selain bulan Sya‘ban. (HR Al
Bukhari & Muslim).
Menutup Jalan Orang Lain
Saya tidak tahu, apakah ini hanya kebiasaan orang-orang Pati
saja ataukah ada juga orang di kabupaten lain yang melakukannya. Mereka
berpesta tetapi mengganggu orang lain, yakni dengan cara menutup jalan. Padahal
yang namanya jalan itu bukanlah milik pribadi orang perseorangan. Jalan adalah
milik publik. Artinya jika ada orang ingin menutup jalan untuk kepentingan
pribadi maka ia harus meminta ijin kepada siapapun yang lewat di jalan
tersebut.
Selama ini yang terjadi, mereka cukup meminta ijin kepada
kepolisian setempat. Padahal jalan bukan milik kepolisian. Polisi hanya
mengatur, bukan memiliki. Jalan sekali lagi adalah milik publik, orang banyak,
maka tidak bisa kita menggunakannya untuk kepentingan egois pribadi. Bukti
bahwa jalan adalah milik publik sangat jelas. Rasulullah menghalalkan kita
untuk mengambil buah yang masuk ke ruas jalan, meskipun pohonnya ada di
pekarangan orang. Artinya buah itu, ketika ia memasuki ruas jalan, maka ia
menjadi milik publik pemakai jalan dan bukan lagi milik si empunya pohon.
Rasulullah juga melarang kita untuk duduk-duduk di
pinggir jalan. Rasulullah membolehkan kita duduk di pinggir jalan asalkan kita
menunaikan hak para pemakai jalan, yakni tidak mengganggu mereka. Kalau, sekali
lagi, kalau duduk di pinggir jalan saja tidak diperbolehkan karena takut
mengganggu orang lain, apatah lagi duduk di tengah jalan dengan menggelar
panggung perkawinan di sana. Lebih parah lagi kalau mereka juga menggelar
pentas dangdut yang penuh dengan kemaksiatan. Astaghfirullah.......
Posting Komentar
Anda merasa mendapatkan KEBAIKAN dari postingan ini? SILAHKAN BERKOMENTAR secara santun, bijak, dan tidak menghakimi. TERIMAKASIH telah sudi meninggalkan komentar di sini. Semoga hidup Anda bermakna. amin...