JAKARTA-Kaum liberal-radikal di Indonesia bisa lebih liberal dari sumbernya di dunia Barat. Misalnya, dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi, di sini cenderung over acting dan menghina intelektualitas dengan menghendaki tiada batas serta menafikan moralitas. Padahal di barat, masyarakatnya sadar betul bahwa kebebasan ada batasnya sehingga mereka mau mawas diri dengan membuat pagar-pagar tentang kebebasan berekspresi.
Demikian benang merah diskusi tentang kebebasan berekspresi terkait dengan maraknya tayangan televisi dan film di Indonesia yang cenderung destruktif, di Jakarta, Kamis (2/9). Diskusi diselenggarakan Forum Budaya Nusantara, dengan pembicara Ade Armando (Komisi Penyiaran Indonesia/KPI), Imam Tantowi (sutardara), Imran Hanafi (Gerakan Peduli moral bangsa/GPMB), Erna Libi (artis), dan moderator Taufa B Nahrawardaya (Indonesian Crime Analysis Forum/ICAF).
Ade Armando mengemukakan, Indonesia masih jauh dari peradaban modern yang benar. Di negara paling liberal, seperti Amerika, pun pada titik tertentu, kebebasan berekspresi menghadapi pembatasan. “Seniman kita harusnya pada sadar bahwa tidak ada kebebasan berkespresi di dunia ini yang boleh mengekspresikan apa pun,” katanya.
Imran Hanafi berharap pemerintah tidak lepas tangan. Tetapi, ikut menengahi dan bersikap tegas terhadap tayangan yang merusak moral dan budaya luhur bangsa. “Sehingga, masyarakat tidak perlu berkonflik untuk menyelesaikan masalah ini,” katanya.
Imam Tantowi yang sudah membidani 400-an film dan sinetron, mengatakan, produk hiburan untuk televisi dan film mestinya dibuat dengan kreativitas tinggi. Tidak mengeksploitasi selera rendahan.
“Tapi umumnya, kreativitas yang dituntut adalah kreativitas produser yang semangatnya hanya supaya film laku,” kata sutradara yang berani menolak membuat adegan seks.
Tuntutan produser juga tergantung pada sikap sutradara dan pemain. Namun, bagi pendatang baru yang sedang membangun eksistensi, seringkali menyerah pada tuntutan tersebut.
“Kalau menolak, mereka bisa tidak mendapat uang atau diusir produser,” kata Imam.
Ia pernah bertanya pada produser yang hobi membuat adegan pornografi dan pornoaksi. Apakah anaknya diblehkan menonton filmnya itu? Dijawab si produser bahwa ia melarang anaknya untuk menonton.
“Jadi, anak sendiri dilarang, tapi anak orang lain dibuatnya rusak dengan film yang dibuatnya.”
Ade menambahkan, pornografi sudah menjadi asalah dunia. Protes berlangsung dimana-mana. Mereka melancarkan penolakan terhadap eksploitasi seks lewat media massa, televisi, dan film. Ironisnya, sejak 2001, Indonesia ada yang menyebut sebagai surga kedua pornografi setelah Rusia.
“Bukan berarti seks itu buruk. Tapi, jika dieksploitasi lewat media, bisa berefek negatif terhadap masyarakat, terutama perempyuan yang selalu menjadi objeknya,” tutur Ade.
Film Buruan Cium Gue, dinilai Ade melulu mengeksploitasi masalah seks lewat perkataan dan adegan ciuman kaum remaja. Maka, film produksi Multivision Plus ini, layak mendapat protes dari masyarakat yang peduli pada moral bangsa.
“Protes yang dilakukan Aa Gym merupakan embrio untuk gerakan moral masyarakat di masa depan. Ini tidak akan mengancam kebebasan berkespresi yang sehat,” katanya.
Sekitar empat tahun terakhir, menurut Ade, film nasional sebenarnya mengalami kebangkitan dengan kualitas yang tidak mengecewakan. Namun, kehadiran BCG telah merusak prestasi film-film sebelumnya yang diterima oleh masyarakat.
Produser BCG dianggapnya terjun dengan mendompleng dan memanfaat kemajuan dunia film nasional yang laku di pasar. Tetapi, dia tidak berangkat dari awal dengan siap merugi untuk membangun situasi kondusif dunia perfilman.
Sumber : Republika Jum’at, 3 September 2004
Posting Komentar
Anda merasa mendapatkan KEBAIKAN dari postingan ini? SILAHKAN BERKOMENTAR secara santun, bijak, dan tidak menghakimi. TERIMAKASIH telah sudi meninggalkan komentar di sini. Semoga hidup Anda bermakna. amin...