Oleh: Muhsin Suny M.
Sekolah menurut saya, adalah bagaikan dispenser. Sedangkan siswa-siswinya adalah bagaikan air. Orangtua, membawa air dalam sebuah gallon dan diletakkan di atas dispenser itu. Lalu, sesuai kebutuhannya, ia akan memencet tombol yang diinginkan. Apakah ia ingin air panas ataukah air dingin? Jika ia memencet tombol merah, maka air panaslah yang akan mengalir. Tetapi jika ia memilih tombol biru maka air dinginlah yang akan keluar.
Panas saja tidak cukup dan tidak enak untuk diminum. Maka ia pun bisa menambahkan sendiri ke dalam air panas itu teh, jahe, kopi, susu, dan sebagainya. Jika kurang manis, ia pun bisa menambahkan gula sesuai selera.
Sedangkan jika ia memilih air dingin, ia bisa saja langsung meminumnya tanpa menambahkan sesuatu di dalamnya. Tetapi tidak seorangpun bisa melarang kalau ia mau menambahkan ke dalam air itu rajangan buah-buahan, parutan kelapa muda, perasan jeruk, dan lain-lain. Tak juga ada yang melarang jika ia memasukkan ke dalamnya bahan-bahan haram seperti ciu, arak, bir, alkohol, dan sebagainya. Adalah terserah baginya mau diapakan air itu. Toh itu adalah air yang dibawa sendiri dari rumah?
Seperti dispenser, demikianlah sekolah difungsikan. Ia hanya bisa menyajikan output sesuai dengan keinginan orangtua. Jikapun sajian itu sudah sesuai dengan keinginan orangtua, bisa saja ia tidak puas dengan sajian itu sehingga ditambahkanlah materi-materi lain ke dalam sajian itu. Dispenser tidak mungkin bisa menghasilkan kopi, jahe, teh, atau susu secara langsung. Ia hanya bisa menghasilkan air panas atau digin. Ia hanya membantu menyiapkan sajian awal. Kita tidak mungkin memaksa sebuah dispenser untuk menyajikan air lezat sesuai dengan keinginan kita. Jadi sangat aneh jika ada seseorang yang menghendaki sebuah dispenser bisa secara otomatis menyajikan kopi, susu, apalagi madu.
Semuanya terserah orangtua. Sebuah institusi bernama sekolah, tidak punya kuasa apapun terhadap anak didiknya. Ia hanyalah sebuah ‘tempat penitipan’ sementara. Daripada sang anak tidak terkontrol di rumah karena orangtuanya bekerja, maka dicarilah sebuah intsitusi yang bisa membantu sang anak mencapai prestasi tertentu sebagaimana keinginan orangtua. Apa keinginan orangtua, begitulah anaknya akan menjadi. Maka tepat sekali apa yang disabdakan oleh Rasulullah:
“Tidak ada bayi yang lahir kecuali ia dilahirkan dalam keadaan suci. Lalu orangtuanya menjadikannya sebagai Yahudi, sebagai Nasrani atau sebagai Majusi”.(HR al-Bukhory).
Dalam hadits di atas dapat kita lihat bahwa yang mampu merubah pribadi sang anak hanyalah orangtuanya, bukan sekolah. Artinya apa? Apapun usaha yang dilakukan oleh sekolah jika tidak didukung oleh orangtuanya di rumah, maka akan sia-sia. Di sekolah, anak mendapatkan pendidikan bahwa sorang anak kecil tidak boleh menonton sinetron remaja dan dewasa. Tetapi di rumah, anak dibiarkan begitu saja melahap tontonan apapun yang diinginkannya. Maka ketika gurunya melarangnya, ia akan berkata, “Orangtuaku sering menonton sinetron itu, jadi aku ikutan menonton. Toh orangtuaku tidak melarangku? Mengapa pak guru melarang saya?”
Pendidikan dari orangtua adalah segala-galanya. Terutama ibunya, sebagai madrasatul ‘ula (sekolah pertama) yang men-tarbiyah (mendidik dan mengasuh) sejak dari dalam kandungan sampai ia tumbuh dewasa. Sekolah tidak berarti apa-apa tanpa dukungan pendidikan di rumah dan lingkungannya. Bisa dibayangkan, seorang anak berada di sekolah paling hanya lima jam (untuk full say school mungkin bisa sampai sembilan jam). Artinya selama sembilanbelas jam (atau limabelas jam untuk yang sekolah di program full day) ia berada di luar sekolah. Selama itu, orangtuanyalah yang bertanggungjawab terhadap pendidikannya.
Di sekolah ia bisa mendapatkan pelajaran bahwa kalau bersalah harus minta maaf, kalau dibantu harus berterimakasih, kalau khilaf (berbuat dosa) harus membaca istighfar. Berlomba minjemin pensil temannya yang tidak membawa. Makan dan minum harus dengan tangan kanan, dan sebagainya. Tetapi sesampainya ia di rumah, pelajaran itu akan menguap begitu saja jika tidak diteruskan oleh orangtua dan lingkungannya. Sehingga apa yang diajarkan di sekolah mentah lagi di rumah. Akhirnya, ia pun ‘tidak pernah matang’.
Jangan sampai di sekolah diajarkan rasa empati kepada sesama temannya, tetapi di rumah ia diajarkan sifat individualis. Di sekolah diajarkan bahwa ketika ada seorang temannya yang mendapatkan musibah, maka yang melihat harus berlomba menolongnya. Karena meraka adalah saudara kita. Tetapi ketika sampai di rumah, pelajaran yang disampaikan jauh berbeda. Lewat benda laknat bernama televisi, anak-anak seolah diajarkan, “Kalau kamu melihat orang lain mendapatkan musibah, kamu hendaknya berkata: kasihaaaaaaaaaan deh lho!” So, rasa empati yang diajarkan di sekolah pun menguap dan yang tumbuh adalah sikap egois.
Dispenser Rusak
Sebagaimana dispenser, sekolah juga bisa rusak. Bagaimana sebuah sekolah bisa dikategorikan sekolah rusak? Sekolah yang rusak adalah sekolah yang hanya berfungsi sebagai tempat ‘bisnis’. Sang guru berangkat dari rumah bukan untuk mentransfer ilmunya, melainkan hanya untuk mencari penghasilan. Setiap hari yang dibicarakan di kantor tetang uang melulu. Mereka tidak pernah melakukan evaluasi apalagi inovasi pengajarannya. Alhasil, pembelajaran kacau. Yang penting target kurikulum tercapai. Masa bodoh dengan murid-muridnya apakah sudah faham dengan ilmu yang diberikan atau tidak.
Sekolah juga bisa disebut rusak jika menghasilkan murid-murid yang timpang. Tidak seimbang antara ilmu dan amalnya, atau tidak balance antara iptek dan imtaqnya. Murid-murid lulusan sekolah seperti ini mungkin pandai sekali berceramah, tetapi gagap dalam beramal. Ilmu bagi mereka hanya untuk diketahui, bukan untuk diamalkan. Sebagian dari mereka juga cerdas duniawinya tetapi sangat rapuh ukhrowinya. Sehingga banyak kita saksikan siswa yang lulus dari sekolah ini terjangkiti stress, padahal IQ-nya sangat tinggi.
Untuk sekolah-sekolah rusak seperti ini tidak ada cara lain yang bisa dilakukan dalam rangka penyelamatannya kecuali men-scan para gurunya. Bagi yang sudah sangat rusak, dengan terpaksa harus diganti guru baru. Tetapi bagi yang masih bisa diperbaiki, mereka harus diformat cara berpikirnya. Bagaimana bahwa menjadi seorang guru itu tidak sekadar mengajar, tetapi juga mendidik dan mengasuh. “Menjadi guru itu laiknya parenting”, kata Shahnaz Haque.
Smart and sholih
Sekolah yang ideal adalah yang menghasilkan seorang murid yang tidak hanya kuat ukhrowinya tetapi juga mapan pengetahuan dunianya. Ia tidak hanya hafal surat-surat atau hadits-hadits tetapi juga pandai mengoperasikan computer. Mereka tidak hanya akrab dengan kitab-kitab kuning, tetapi juga tidak asing dengan internet. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Carilah apa-apa yang diberikan Allah kepadamu berupa rumah akherat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia.”
“Akhlaq adalah segala-galanya,” begitu sabda Nabi. Jadi, kita jangan hanya berkeinginan anak kita menjadi smart saja. Tetapi kita mestinya juga berharap penuh anak-anak kita menjadi generasi yang sholih. Smart n sholih! Itulah yang kita inginkan. Mengapa? Karena orang smart sudah banyak di negeri ini, tetapi orang yang sholih masih sangat jarang. Oleh karena itu, jika anak kita pulang dari sekolah nanti jangan hanya ditanya,” Dapat nilai berapa tadi di sekolah?” Tetapi ia juga mesti ditanya, “Sudah menolong siapa tadi di sekolah?”
Wallahu a’lamu bis showab. Wastaghfirullahal ‘adzim.
*) Tulisan disampaikan pada pertemuan wali murid SDIT Muhammadiyah al-Kautsar Sabtu, 25 Maret 2007
Sekolah menurut saya, adalah bagaikan dispenser. Sedangkan siswa-siswinya adalah bagaikan air. Orangtua, membawa air dalam sebuah gallon dan diletakkan di atas dispenser itu. Lalu, sesuai kebutuhannya, ia akan memencet tombol yang diinginkan. Apakah ia ingin air panas ataukah air dingin? Jika ia memencet tombol merah, maka air panaslah yang akan mengalir. Tetapi jika ia memilih tombol biru maka air dinginlah yang akan keluar.
Panas saja tidak cukup dan tidak enak untuk diminum. Maka ia pun bisa menambahkan sendiri ke dalam air panas itu teh, jahe, kopi, susu, dan sebagainya. Jika kurang manis, ia pun bisa menambahkan gula sesuai selera.
Sedangkan jika ia memilih air dingin, ia bisa saja langsung meminumnya tanpa menambahkan sesuatu di dalamnya. Tetapi tidak seorangpun bisa melarang kalau ia mau menambahkan ke dalam air itu rajangan buah-buahan, parutan kelapa muda, perasan jeruk, dan lain-lain. Tak juga ada yang melarang jika ia memasukkan ke dalamnya bahan-bahan haram seperti ciu, arak, bir, alkohol, dan sebagainya. Adalah terserah baginya mau diapakan air itu. Toh itu adalah air yang dibawa sendiri dari rumah?
Seperti dispenser, demikianlah sekolah difungsikan. Ia hanya bisa menyajikan output sesuai dengan keinginan orangtua. Jikapun sajian itu sudah sesuai dengan keinginan orangtua, bisa saja ia tidak puas dengan sajian itu sehingga ditambahkanlah materi-materi lain ke dalam sajian itu. Dispenser tidak mungkin bisa menghasilkan kopi, jahe, teh, atau susu secara langsung. Ia hanya bisa menghasilkan air panas atau digin. Ia hanya membantu menyiapkan sajian awal. Kita tidak mungkin memaksa sebuah dispenser untuk menyajikan air lezat sesuai dengan keinginan kita. Jadi sangat aneh jika ada seseorang yang menghendaki sebuah dispenser bisa secara otomatis menyajikan kopi, susu, apalagi madu.
Semuanya terserah orangtua. Sebuah institusi bernama sekolah, tidak punya kuasa apapun terhadap anak didiknya. Ia hanyalah sebuah ‘tempat penitipan’ sementara. Daripada sang anak tidak terkontrol di rumah karena orangtuanya bekerja, maka dicarilah sebuah intsitusi yang bisa membantu sang anak mencapai prestasi tertentu sebagaimana keinginan orangtua. Apa keinginan orangtua, begitulah anaknya akan menjadi. Maka tepat sekali apa yang disabdakan oleh Rasulullah:
“Tidak ada bayi yang lahir kecuali ia dilahirkan dalam keadaan suci. Lalu orangtuanya menjadikannya sebagai Yahudi, sebagai Nasrani atau sebagai Majusi”.(HR al-Bukhory).
Dalam hadits di atas dapat kita lihat bahwa yang mampu merubah pribadi sang anak hanyalah orangtuanya, bukan sekolah. Artinya apa? Apapun usaha yang dilakukan oleh sekolah jika tidak didukung oleh orangtuanya di rumah, maka akan sia-sia. Di sekolah, anak mendapatkan pendidikan bahwa sorang anak kecil tidak boleh menonton sinetron remaja dan dewasa. Tetapi di rumah, anak dibiarkan begitu saja melahap tontonan apapun yang diinginkannya. Maka ketika gurunya melarangnya, ia akan berkata, “Orangtuaku sering menonton sinetron itu, jadi aku ikutan menonton. Toh orangtuaku tidak melarangku? Mengapa pak guru melarang saya?”
Pendidikan dari orangtua adalah segala-galanya. Terutama ibunya, sebagai madrasatul ‘ula (sekolah pertama) yang men-tarbiyah (mendidik dan mengasuh) sejak dari dalam kandungan sampai ia tumbuh dewasa. Sekolah tidak berarti apa-apa tanpa dukungan pendidikan di rumah dan lingkungannya. Bisa dibayangkan, seorang anak berada di sekolah paling hanya lima jam (untuk full say school mungkin bisa sampai sembilan jam). Artinya selama sembilanbelas jam (atau limabelas jam untuk yang sekolah di program full day) ia berada di luar sekolah. Selama itu, orangtuanyalah yang bertanggungjawab terhadap pendidikannya.
Di sekolah ia bisa mendapatkan pelajaran bahwa kalau bersalah harus minta maaf, kalau dibantu harus berterimakasih, kalau khilaf (berbuat dosa) harus membaca istighfar. Berlomba minjemin pensil temannya yang tidak membawa. Makan dan minum harus dengan tangan kanan, dan sebagainya. Tetapi sesampainya ia di rumah, pelajaran itu akan menguap begitu saja jika tidak diteruskan oleh orangtua dan lingkungannya. Sehingga apa yang diajarkan di sekolah mentah lagi di rumah. Akhirnya, ia pun ‘tidak pernah matang’.
Jangan sampai di sekolah diajarkan rasa empati kepada sesama temannya, tetapi di rumah ia diajarkan sifat individualis. Di sekolah diajarkan bahwa ketika ada seorang temannya yang mendapatkan musibah, maka yang melihat harus berlomba menolongnya. Karena meraka adalah saudara kita. Tetapi ketika sampai di rumah, pelajaran yang disampaikan jauh berbeda. Lewat benda laknat bernama televisi, anak-anak seolah diajarkan, “Kalau kamu melihat orang lain mendapatkan musibah, kamu hendaknya berkata: kasihaaaaaaaaaan deh lho!” So, rasa empati yang diajarkan di sekolah pun menguap dan yang tumbuh adalah sikap egois.
Dispenser Rusak
Sebagaimana dispenser, sekolah juga bisa rusak. Bagaimana sebuah sekolah bisa dikategorikan sekolah rusak? Sekolah yang rusak adalah sekolah yang hanya berfungsi sebagai tempat ‘bisnis’. Sang guru berangkat dari rumah bukan untuk mentransfer ilmunya, melainkan hanya untuk mencari penghasilan. Setiap hari yang dibicarakan di kantor tetang uang melulu. Mereka tidak pernah melakukan evaluasi apalagi inovasi pengajarannya. Alhasil, pembelajaran kacau. Yang penting target kurikulum tercapai. Masa bodoh dengan murid-muridnya apakah sudah faham dengan ilmu yang diberikan atau tidak.
Sekolah juga bisa disebut rusak jika menghasilkan murid-murid yang timpang. Tidak seimbang antara ilmu dan amalnya, atau tidak balance antara iptek dan imtaqnya. Murid-murid lulusan sekolah seperti ini mungkin pandai sekali berceramah, tetapi gagap dalam beramal. Ilmu bagi mereka hanya untuk diketahui, bukan untuk diamalkan. Sebagian dari mereka juga cerdas duniawinya tetapi sangat rapuh ukhrowinya. Sehingga banyak kita saksikan siswa yang lulus dari sekolah ini terjangkiti stress, padahal IQ-nya sangat tinggi.
Untuk sekolah-sekolah rusak seperti ini tidak ada cara lain yang bisa dilakukan dalam rangka penyelamatannya kecuali men-scan para gurunya. Bagi yang sudah sangat rusak, dengan terpaksa harus diganti guru baru. Tetapi bagi yang masih bisa diperbaiki, mereka harus diformat cara berpikirnya. Bagaimana bahwa menjadi seorang guru itu tidak sekadar mengajar, tetapi juga mendidik dan mengasuh. “Menjadi guru itu laiknya parenting”, kata Shahnaz Haque.
Smart and sholih
Sekolah yang ideal adalah yang menghasilkan seorang murid yang tidak hanya kuat ukhrowinya tetapi juga mapan pengetahuan dunianya. Ia tidak hanya hafal surat-surat atau hadits-hadits tetapi juga pandai mengoperasikan computer. Mereka tidak hanya akrab dengan kitab-kitab kuning, tetapi juga tidak asing dengan internet. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Carilah apa-apa yang diberikan Allah kepadamu berupa rumah akherat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia.”
“Akhlaq adalah segala-galanya,” begitu sabda Nabi. Jadi, kita jangan hanya berkeinginan anak kita menjadi smart saja. Tetapi kita mestinya juga berharap penuh anak-anak kita menjadi generasi yang sholih. Smart n sholih! Itulah yang kita inginkan. Mengapa? Karena orang smart sudah banyak di negeri ini, tetapi orang yang sholih masih sangat jarang. Oleh karena itu, jika anak kita pulang dari sekolah nanti jangan hanya ditanya,” Dapat nilai berapa tadi di sekolah?” Tetapi ia juga mesti ditanya, “Sudah menolong siapa tadi di sekolah?”
Wallahu a’lamu bis showab. Wastaghfirullahal ‘adzim.
*) Tulisan disampaikan pada pertemuan wali murid SDIT Muhammadiyah al-Kautsar Sabtu, 25 Maret 2007
Posting Komentar
Anda merasa mendapatkan KEBAIKAN dari postingan ini? SILAHKAN BERKOMENTAR secara santun, bijak, dan tidak menghakimi. TERIMAKASIH telah sudi meninggalkan komentar di sini. Semoga hidup Anda bermakna. amin...