Kebebasan Beragama , HAM dan Islam
(Telaah atas tesis Moh. Dahlan, S.Ag yang berjudul "Kebebasan Beragama Menurut Pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) Abdullahi Ahmed An-Na'im")
A. Pendahuluan
Tesis yang secara khusus membahas tentang Hak Asasi Manusia (HAM) barangkali memang sangat jarang ditulis. Menurut pengamatan kami, hanya ada tiga tesis di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berbicara seputar HAM. Pertama adalah tesis yang ditulis oleh Moh. Dahlan tersebut. Kedua, adalah tesis yang ditulis oleh Abdul Wafa, S.Ag yang berjudul "Independensi Wanita dalam Pelaksanaan Akad Nikah dan Hubungannya dengan Penegakan Hak Asasi Manusia (Studi Relasi Ayat-ayat tentang Nikah dan Hak Asasi Manusia [HAM])" (2005) dan ketiga adalah Tesis yang ditulis oleh Deni Irawan, S.H.I yang berjudul "Perkawinan Beda Agama dan Hak Asasi Manusia di Indonesia." (2006).
Setelah memerhatikan dan membaca sekilas ketiga tesis tersebut, maka kami memutuskan untuk menelaah tesisnya saudara Moh. Dahlan. Sejujurnya kami sedikit ragu untuk memutuskan mana tesis yang akan kami teliti. Karena waktu terus berjalan, mau tidak mau kami harus memilih satu diantara ketiga tesis tersebut, kami pun sepakat untuk memilih tesis saudara Moh. Dahlan sebagai bahan kajian. Tidak ada alasan khusus mengapa kami memutuskan untuk memilih tesis saudara Moh. Dahlan. Karena sesungguhnya semangat yang diusung oleh ketiga tesis tersebut sama saja, yakni dekonstruksi syari'ah.
Adalah sesuatu yang sangat umum terjadi di lingkungan akademisi UIN untuk menelorkan karya ilmiah yang berbau sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme (sipilis). Tidak terkecuali karya tesis Moh. Dahlan yang kami jadikan objek kajian ini. Secara garis besar tesisnya "mengunyah" dan "menelan" mentah-mentah pola pikir orang-orang liberal (tak lupa untuk menghujat produk ulama-ulama salaf) dan "memuntahkannya" di dalam tesisnya ini.
Para pemikir berhaluan liberal saling sahut menyahut di dalam tesis ini untuk bersama-sama melakukan "pembaharuan" pemikiran Islam. Kata pembaharuan di samping kami beri tanda kutip, karena sesungguhnya yang mereka lakukan bukanlah pembaharuan sebagaimana seharusnya. Akan tetapi yang mereka lakukan adalah perusakan syari'ah Islam. Pembaharuan (atau dalam istilah ilmiahnya adalah tajdid) yang semestinya dan yang diterima oleh Islam adalah dengan tidak menghilangkan syariah yang sudah paten dan qot'i.
Adian Husaini mengatakan bahwa Islam datang dengan cat yang baru dan bagus. Tetapi karena perjalanan waktu dan berubahnya zaman, cat tersebut lama-kelamaan semakin usang dan pudar. Nah, fungsi tajdid adalah mengembalikan cat yang telah usang tersebut agar kembali cerah dan bersinar terang. Bukan justru untuk memberi cat dengan warna lain.
Gambaran Tesis
Saudara Moh. Dahlan memulai tesisnya dengan mengungkapkan tiga permasalahan pokok dalam kajiannya yakni: (1) seperti apa konsep kebebasan beragama dalam tipologi pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional dan tipologi pemikiran HAM Islam; (2) bagaimana konsep kebebasan beragama dalam tipologi pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) an-Na'im, dan (3) bagaimana relevansi konsep kebebasan beragama dalam tipologi pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) an-Na'im di Indonesia.
Dengan menggunakan pendekatan historis-filosofis dan teknik analisis deskriptif, komparatif, dan konstruktif menunjukkan bahwa pemikiran HAM yang berkembang pada dasarnya mengarah pada empat tipologi, yaitu: pemikiran fundamentalis, pemikiran reformis-fundamentalis, pemikiran reformis-sekularis dan pemikiran reformis-super fundamentalis. Masing-masing memunyai parameter dan ciri pemikiran yang dapat memengaruhi pada pemaknaan kebebasan beragama.
Pemikiran fundamentalis meyakini bahwa semua permasalahan dianggap telah terjawab dalam ajaran (agama) Islam. Oleh karenanya, semua permasalahan yang berkembang harus dikembalikan kepada ketentuan ajaran Islam. Ciri pemikirannya adalah bercorak rigid dan literal dalam memahami ajaran Islam, dan tidak melakukan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam menjawab tuntutan perkembangan zaman. Oleh karenanya, pemikiran ini menolak hal-hal baru yang bertentangan secara langsung dengan ketentuan tekstual-praktis dari ajaran Islam. Sedang prinsip utama pemikiran ini adalah memegang kokoh ajaran Islam yang praktis (partikuler) dan mengukur ketentuan yang implisit (universal/umum) dengan ketentuan yang eskplisit (praktis). Oleh karenanya, kebebasan beragama dalam pemikiran ini hanya meliputi; kebebasan untuk memeluk, mengamalkan, dan menjalankan ajaran agama yang telah dianutnya, dan kebebasan untuk mengganti atau pindah bagi non-muslim pada agama Islam atau agama lainnya. Namun demikian, kebebasan untuk mengganti atau pindah agama tidak berlaku bagi Muslim. Apalagi kebebasan untuk tidak percaya kepada agama (atau Allah). Dengan kata lain, Muslim tidak memunyai kebebasan untuk mengganti atau pindah agama (Allah). Oleh karenanya, tipologi pemikiran ini menolak secara total konsep kebebasan beragama dalam pemikiran HAM Internasional.
Pemikiran reformis-fundamentalis memunyai sikap romantis, rigid dan rekonstruktif dalam memahami ajaran Islam. Ciri pemikirannya adalah ia selalu mengembalikan seluruh permasalahan kepada ajaran Islam dan melakukan pembaruan pada hal-hal yang belum ada ketentuannya secara tekstual-praktis. Oleh karenanya, pemikiran ini terkesan hanya melakukan islamisasi pada bagian tertentu dalam pemikiran HAM internasional, yang dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang praktis. Ini dapat ditemukan dalam naskah "Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam" yang pada prinsipnya memosisikan manusia sebagaimana layaknya manusia sebagai perintah Tuhan (atau syari'ah) dan mengarahkan semua aturan kepada ketentuan ajaran Islam secara total seperti tertuang dalam pasal 19 poin d yang berbunyi; "Tidak ada kejahatan atau penghukuman kecuali ditetapkan oleh ajaran Islam (syari'ah)". Deklarasi ini menyimpan misteri dan potensi terror. Alasannya adalah, kalau ajaran Islam yang dipergunakan adalah ajaran yang particular (yang dalam bahasanya an-Na'im disebut "syari'ah historis"; suatu ajaran yang bernada keras; perintah perang, pemaksaan agama dan larangan riddah), maka pasal ini dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan dan pemaksaan agama (dan keyakinan).
Dari dua tipologi pemikiran tersebut, Moh. Dahlan mengatakan bahwa pemikiran ini adalah bercorak "theosentris". Dengan kata lain, ketentuan Tuhan (ajaran Islam) menjadi parameter utama dan manusia hanya mengikuti, walaupun ketentuan yang diberikan Tuhan itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pemikiran reformis-sekularis menekankan pentingnya kehidupan duniawi dan manusia diarahkan untuk tidak menggunakan ketentuan agama (ajaran Islam). Pemikiran ini tidak mementingkan persoalan agama, dan sebaliknya justru kepentingan manusia menjadi prioritas utama. Oleh karenanya, tipologi pemikiran ini disebut "anthroposentris". Sedang konsep kebebasan beragama dalam pemikiran ini sepenuhnya berpijak pada ketentuan HAM international, yang meliputi; kebebasan masuk, memeluk dan mengamalkan agama, baik sendiri maupun bersama, dan di muka umum ataupun tertutup.
Pemikiran reformis-super fundamentalis memunyai sikap kritis dan obyektif dalam menyikapi pemikiran HAM Islam dan pemikiran HAM international. Ciri pemikirannya adalah menjawab tuntutan zaman secara rasional dan realistis. Oleh karenanya, pemikiran ini memahami ajaran Islam dengan cara menjadikan ajaran Islam yang prinsipil (universal) sebagai pijakan utama dan ajaran Islam yang tidak prinsipil (tekstual-praktis) sebagai pelengkap yang perlu diukur dengan ajaran Islam yang prinsipil itu. Dan dengan ini, maka kebebasan beragama telah memunyai jalan yang mudah menuju kebebasan yang sebenarnya.
Dari empat tipologi pemikiran HAM di atas, Moh. Dahlan menyimpulkan bahwa pemikiran HAM an-Na'im memunyai kesamaan dengan tipologi pemikiran reformis-super fundamentalis. Ia memunyai sikap kritis dan obyektif dalam memandang pemikiran HAM Islam dan pemikiran HAM international. Ciri pemikirannya adalah ia menjawab tuntutan zaman dengan cara yang realistis dan rasional. Dari hal ini, ia kemudian membangun sintesis pemikiran HAM melalui dua tahap (1) pendekatan diskursus internal yang berfungsi untuk melakukan kritik terhadap pemikiran HAM Islam. Sedang metode yang dipergunakan adalah nasakh (yang telah digagas oleh Mahmoud Muhamed Taha ), yaitu: perpindahan dari ajaran Islam yang praktis kepada ajaran Islam yang universal sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dari pendekatan ini, an-Na'im menyimpulkan bahwa kebebasan beragama dalam Islam pada dasarnya tidak hanya meliputi; kebebasan untuk masuk, memeluk, dan mengamalkan suatu agama tertentu yang dikehendaki, tetapi juga kebebasan untuk pindah dari satu agama pada agama lain, baik dari agama Islam pada agama lain atau sebaliknya, dan kebebasan untuk percaya atau tidak percaya pada agama (atau Allah). (2) pendekatan diskursus eksternal (cross-cultural approach) yang berfungsi untuk memertemukan suatu kultur dengan kultur lainnya yang berbeda. Dan metode yang digunakan adalah principle of reciprocity (prinsip timbal balik). Dari dua pendekatan ini, pemikiran HAM an-Na'im dapat dilihat relevansi pemikirannya di Indonesia, terutama ketika menghadapi upaya formalisasi agama yang dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia, yang tidak rasional dan realistis; tidak rasional karena telah menjadikan pesan-pesan tekstual-praktis dari ajaran Islam (seperti memakai jilbab) yang pada dasarnya sebagai sarana menjadi tujuan, dan tidak realistis karena telah memberlakukan secara paksa pesan-pesan itu di masa sekarang.
Kontribusi pemikiran HAM an-Na'im menurut Moch. Dahlan meliputi: (1) penyelesaian problem keagamaan dengan cara mencari akar permasalahannya. (2) ajaran Islam yang universal menjadi inspirasi dalam menjawab tuntutan perkembangan zaman. (3) perkembangan pemikiran HAM internasional dan pemikiran HAM Islam diperluas, dikoreksi, dan dipertegas, baik dalam tataran prinsipil maupun tataran praksisnya.
Sedang temuan Moh. Dahlan meliputi; (1) ajaran Islam yang teknis-praktis (yang mengekang kebebasan dan berpotensi konflik) perlu dihapus (atau di-nasakh) kekuatan hukumnya secara permanen dengan ajaran Islam yang universal. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan kebebasan beragama yang sebenarnya. Oleh karenanya, konsep nasakh yang dibangun oleh an-Na'im perlu dirubah. (2) pemikiran HAM an-Na'im pada dasarnya menerima pemikiran fundamentalis, tetapi dengan tipologi pemikiran yang baru, yaitu metode nasakh dan principle of reciprocity yang dianutnya. Dan bersamaan dengannya, ia juga menerima tipologi pemikiran reformis-sekularis (seperti unsur rasionalitasnya). Dengan demikian, dalam perspektif "theosentris" dan "anthroposentris", pemikiran HAM an-Na'im bercorak "anthroposentris" yang di dalamnya terkandung unsur-unsur "theosentris" (ajaran Islam). Artinya, unsur-unsur kemanusiaan menjadi pertimbangan signifikan, dan bersamaan dengannya dilandasi oleh kesadaran nilai-nilai keagamaan dan keyakinan.
Analisis Tesis
Setelah kami membuka-buka tesis saudara Moh. Dahlan ini kami tergelak karena tidak menemukan satu kalimat (bahkan satu huruf) pun yang berupa tulisan Arab. Semua tulisan Arab yang ada hanyalah berupa transliterasi . Kami tidak tahu apakah si penulis mengalami Arabic Phobia ataukah ia merasa malas untuk mengetik kata Arab atau memang tidak bisa mengetik tulisan Arab.
Dekonstruksi Konsep Riddah
Selain tidak mencantumkan font Arab, tesis ini juga bertaburan di sana-sini hasil pikiran dari para pemikir liberal seperti Harun Nasution, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Abdul Munir Mulkhan, Nasr Hamid dan lain-lain. Para pemikir itu saling sahut menyahut dan dukung mendukung untuk menolak konsep riddah dalam Islam dalam hubungannya dengan HAM Internasional.
Gus Dur misalnya, dalam tesis ini dikatakan bahwa ia sangat setuju dengan HAM Internasional terutama pada pasal 18 tentang kebebasan bagi siapa saja untuk memilih dan berpindah agama. Menurutnya, seandainya Islam memberlakukan hukum riddah maka orang Islam yang telah murtad yang jumlahnya berjuta-juta akan mendapat hukuman mati. Oleh karena itu ajaran Islam tidak bisa diterapkan di Negara ini, apalagi menjadikan ajaran Islam sebagai salah satu ajaran resmi Negara.
Padahal al-Qur'an sudah menjelaskan dengan sangat jelas bahwa orang yang murtad harus dihukum bunuh.
ودوا لو تكفرون كما كفروا فتكونون سواء فلا تتخذوا منهم أولياء حتى يهاجروا في سبيل الله فإن تولوا فخذوهم واقتلوهم حيث وجدتموهم ولا تتخذوا منهم وليا ولا نصيرا
عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ فَأَحْرَقَهُمْ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
Menjejalkan Konsep HAM Internasional dalam Islam
An-Na'im menawarkan konsep kebebasan sebebas-bebasnya pada setiap manusia. Karena menurutnya kebebasan adalah hak dasar setiap manusia. Oleh karena itu, tak seorang pun di dunia yang dapat merampas hak-hak dasar seseorang dengan alasan apa pun. Kebebasan merupakan hak kodrati yang dimiliki oleh manusia secara mutlak.
An-Na'im juga menyatakan bahwa syar'iah Islam yang ada tidak memadai dan melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu, syari'ah Islam perlu direvisi, dari perspektif Islam, untuk memelihara (dan membangun basis) hak asasi manusia. Artinya, syari'ah Islam tidak boleh dipahami sebagai sebuah aturan final dan konklusif yang harus diberlakukan tanpa ada pembaruan dan pembatasan.
Berdasarkan alasan tersebut, an-Na'im memandang perlu untuk merekonstruksi dan mendekonstruksi syari'ah Islam (historis) untuk membangun syari'ah Islam (baru). Sedang pembaruan syari'ah Islam yang dilakukan oleh an-Na'im meliputi; Pembaruan Konstitusionalisme Islam, Pembaruan Pidana Islam, Pembaruan Peraturan (Hubungan) Internasional Islam, yang menjadi bagian signifikan bagi Pembaruan menyangkut bidang Hak Asasi Manusia.
Lebih lanjut dalam pembahasan ini, an-Na'im mengungkapkan permasalahan khusus dalam ajaran Islam yang melanggar HAM yakni tentang riddah. Menurutnya, aturan riddah pada dasarnya hanya turun untuk kebutuhan temporal, sehingga kalau tuntutan zaman sekarang berbeda, dimana kesamaan dan kebebasan menjadi tuntutan mendesak dan keniscayaan, maka ajaran Islam yang harus diberlakukan adalah ajaran Islam periode "Makkah".
Menurutnya, seharusnya Islam memberikan kebebasan pada manusia, termasuk dalam hal memilih agama. Ajaran ini melarang pemaksaan terhadap seseorang (yang beragama non-Islam) untuk pindah dan masuk pada agama (Islam), atau sebaliknya. Ajaran Islam, menurut an-Na'im, tidak hanya memberi kebebasan untuk pindah agama, tetapi juga memberi kebebasan kepada manusia untuk percaya atau tidak percaya (pada agama atau Allah).
Inilah pandangan batil an-Na'im. Ia telah salah kaprah memaknai kebebasan. Di Amerika, negara yang katanya paling liberal sekalipun, tidak ada yang namanya bebas sebebas-bebasnya. Pasti ada ruang-ruang yang aturannya ketat. Sedangkan di Indonesia, dengan dalih kebebasan berekspresi, Inul tampil seronok di televisi yang disaksikan oleh seluruh manusia se-nusantara.
Kebebasan tanpa batas adalah sesuatu yang nisbi. Ambillah contoh kaum nudis yang bebas untuk telanjang. Di sana ada tetap ada ketidakbebasan yakni ketidakbebasan untuk berpakaian.
Rekomendasi
Setelah membaca, menelaah dan mengkaji tesis saudara Moh. Dahlan ini kami menyimpulkan bahwa ini adalah kajian yang tidak menggunakan Islam sebagai worldview. Sebaliknya saudara Moh. Dahlan menggunakan pisau analisis yang berseberangan dengan pedoman Islam. Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya jika kami merekomendasikan bahwa karya ini TIDAK LAYAK dijadikan pedoman atau referensi untuk kajian Islam.
Karena mereka pun tidak menggunakan produk ulama salafus shalih sebagai rujukan utama. Kalaupun mereka menyitir produk ulama salafus shalih adalah dalam rangka merendahkan dan mengejek. Bukan dalam rangka untuk menurunkan tulisan yang cover both side.
Allah bahkan sampai tiga kali memaparkan dalam al-Qur’an tentang predikat bagi orang yang tidak menghukumi dengan hukum Allah.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة: 44)
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Ma’idah (5): 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (المائدة: 45)
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzolim.” (QS. Al-Ma’idah (5): 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (المائدة: 47)
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.” (QS. Al-Ma’idah (5): 47)
Sudah sedemikian jelas peringatan Allah, akan tetapi barangkali mata hati mereka telah tertutup sehingga tidak membaca ayat Allah ini.
Penutup
Islam adalah agama yang sudah sempurna sehingga tidak perlu untuk diotak-atik atau disesuaikan dengan tuntutan zaman. Selama 23 tahun Rasulullah memakai al-Qur'an sebagai pedoman utama untuk menyelesaikan persoalan ummatnya. Dan kenyataannya semua persoalan bisa terselesaikan dengan baik. Adanya upaya untuk merubah ajaran Islam (baca: dekonstruksi Islam) hanyalah upaya pihak-pihak yang sengaja menghancurkan Islam dari dalam. Dengan dalih masalih ummah mereka (orang-orang Liberal wa akhowatuha) merubah syari'ah Islam yang sudah final. Persoalan-persoalan yang pernah ada dan selesai dengan baik dicoba untuk digali kembali dan ditetapkan hukumnya secara berbeda dengan ulama salafus shalih.
Sementara orang-orang Barat sibuk mempelajari teknologi, ummat Islam sibuk untuk merusak agamanya. Jika hal ini terus berlanjut, bagaimana mungkin umat Islam bisa mengungguli orang-orang Barat? Sesuatu yang mestinya tinggal dijalankan (tidak perlu susah-susah dibahas atau dirumuskan) malah diotak-atik sedemikian rupa. Orang Barat sudah menciptakan kecanggihan teknologi yang beragam, umat Islam masih sibuk mendekonstruksi ajarannya.
Mudah-mudahan Islam akan kembali kepada kejayaannya. Amin. Amin. Amin. Yâ mujîbas sâ’ilîn.
Daftar Pustaka
Abdurrahman Wahid, Penafsiran Kembali Kebenaran Relatif, dalam Kedaulatan Rakyat, Jum'at 7 Januari 2003.
Adian Husaini, dkk. Kumpulan Makalah Bahan Kuliah Islamic Wordlview, (Bogor: UIK, 2003).
Al-Maktabah al-Syamilah versi 2.11
Dahlan, Moh. Kebebasan Beragama Menurut Pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) Abdullahi Ahmed an-Na'im. (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003)
Digital Qur'an versi 3.2 (Sony Sugema, 2003-2004)
Irawan, Deni. "Perkawinan Beda Agama dan Hak Asasi manusia di Indonesia." (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Mahmoud Muhamed Taha, The Second Message of Islam, terjemahan An-Na'im (Syracuse: Syracuse University Press, 1987).
Wafa, Abdul. "Independensi Wanita dalam Pelaksanaan Akad Nikah dan Hubungannya dengan Penegakan Hak Asasi Manusia (Studi Relasi Ayat-ayat tentang Nikah dan Hak Asasi Manusia [HAM])" (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005)
(guruGO.blogspot.com)
(Telaah atas tesis Moh. Dahlan, S.Ag yang berjudul "Kebebasan Beragama Menurut Pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) Abdullahi Ahmed An-Na'im")
A. Pendahuluan
Tesis yang secara khusus membahas tentang Hak Asasi Manusia (HAM) barangkali memang sangat jarang ditulis. Menurut pengamatan kami, hanya ada tiga tesis di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berbicara seputar HAM. Pertama adalah tesis yang ditulis oleh Moh. Dahlan tersebut. Kedua, adalah tesis yang ditulis oleh Abdul Wafa, S.Ag yang berjudul "Independensi Wanita dalam Pelaksanaan Akad Nikah dan Hubungannya dengan Penegakan Hak Asasi Manusia (Studi Relasi Ayat-ayat tentang Nikah dan Hak Asasi Manusia [HAM])" (2005) dan ketiga adalah Tesis yang ditulis oleh Deni Irawan, S.H.I yang berjudul "Perkawinan Beda Agama dan Hak Asasi Manusia di Indonesia." (2006).
Setelah memerhatikan dan membaca sekilas ketiga tesis tersebut, maka kami memutuskan untuk menelaah tesisnya saudara Moh. Dahlan. Sejujurnya kami sedikit ragu untuk memutuskan mana tesis yang akan kami teliti. Karena waktu terus berjalan, mau tidak mau kami harus memilih satu diantara ketiga tesis tersebut, kami pun sepakat untuk memilih tesis saudara Moh. Dahlan sebagai bahan kajian. Tidak ada alasan khusus mengapa kami memutuskan untuk memilih tesis saudara Moh. Dahlan. Karena sesungguhnya semangat yang diusung oleh ketiga tesis tersebut sama saja, yakni dekonstruksi syari'ah.
Adalah sesuatu yang sangat umum terjadi di lingkungan akademisi UIN untuk menelorkan karya ilmiah yang berbau sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme (sipilis). Tidak terkecuali karya tesis Moh. Dahlan yang kami jadikan objek kajian ini. Secara garis besar tesisnya "mengunyah" dan "menelan" mentah-mentah pola pikir orang-orang liberal (tak lupa untuk menghujat produk ulama-ulama salaf) dan "memuntahkannya" di dalam tesisnya ini.
Para pemikir berhaluan liberal saling sahut menyahut di dalam tesis ini untuk bersama-sama melakukan "pembaharuan" pemikiran Islam. Kata pembaharuan di samping kami beri tanda kutip, karena sesungguhnya yang mereka lakukan bukanlah pembaharuan sebagaimana seharusnya. Akan tetapi yang mereka lakukan adalah perusakan syari'ah Islam. Pembaharuan (atau dalam istilah ilmiahnya adalah tajdid) yang semestinya dan yang diterima oleh Islam adalah dengan tidak menghilangkan syariah yang sudah paten dan qot'i.
Adian Husaini mengatakan bahwa Islam datang dengan cat yang baru dan bagus. Tetapi karena perjalanan waktu dan berubahnya zaman, cat tersebut lama-kelamaan semakin usang dan pudar. Nah, fungsi tajdid adalah mengembalikan cat yang telah usang tersebut agar kembali cerah dan bersinar terang. Bukan justru untuk memberi cat dengan warna lain.
Gambaran Tesis
Saudara Moh. Dahlan memulai tesisnya dengan mengungkapkan tiga permasalahan pokok dalam kajiannya yakni: (1) seperti apa konsep kebebasan beragama dalam tipologi pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional dan tipologi pemikiran HAM Islam; (2) bagaimana konsep kebebasan beragama dalam tipologi pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) an-Na'im, dan (3) bagaimana relevansi konsep kebebasan beragama dalam tipologi pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) an-Na'im di Indonesia.
Dengan menggunakan pendekatan historis-filosofis dan teknik analisis deskriptif, komparatif, dan konstruktif menunjukkan bahwa pemikiran HAM yang berkembang pada dasarnya mengarah pada empat tipologi, yaitu: pemikiran fundamentalis, pemikiran reformis-fundamentalis, pemikiran reformis-sekularis dan pemikiran reformis-super fundamentalis. Masing-masing memunyai parameter dan ciri pemikiran yang dapat memengaruhi pada pemaknaan kebebasan beragama.
Pemikiran fundamentalis meyakini bahwa semua permasalahan dianggap telah terjawab dalam ajaran (agama) Islam. Oleh karenanya, semua permasalahan yang berkembang harus dikembalikan kepada ketentuan ajaran Islam. Ciri pemikirannya adalah bercorak rigid dan literal dalam memahami ajaran Islam, dan tidak melakukan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam menjawab tuntutan perkembangan zaman. Oleh karenanya, pemikiran ini menolak hal-hal baru yang bertentangan secara langsung dengan ketentuan tekstual-praktis dari ajaran Islam. Sedang prinsip utama pemikiran ini adalah memegang kokoh ajaran Islam yang praktis (partikuler) dan mengukur ketentuan yang implisit (universal/umum) dengan ketentuan yang eskplisit (praktis). Oleh karenanya, kebebasan beragama dalam pemikiran ini hanya meliputi; kebebasan untuk memeluk, mengamalkan, dan menjalankan ajaran agama yang telah dianutnya, dan kebebasan untuk mengganti atau pindah bagi non-muslim pada agama Islam atau agama lainnya. Namun demikian, kebebasan untuk mengganti atau pindah agama tidak berlaku bagi Muslim. Apalagi kebebasan untuk tidak percaya kepada agama (atau Allah). Dengan kata lain, Muslim tidak memunyai kebebasan untuk mengganti atau pindah agama (Allah). Oleh karenanya, tipologi pemikiran ini menolak secara total konsep kebebasan beragama dalam pemikiran HAM Internasional.
Pemikiran reformis-fundamentalis memunyai sikap romantis, rigid dan rekonstruktif dalam memahami ajaran Islam. Ciri pemikirannya adalah ia selalu mengembalikan seluruh permasalahan kepada ajaran Islam dan melakukan pembaruan pada hal-hal yang belum ada ketentuannya secara tekstual-praktis. Oleh karenanya, pemikiran ini terkesan hanya melakukan islamisasi pada bagian tertentu dalam pemikiran HAM internasional, yang dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang praktis. Ini dapat ditemukan dalam naskah "Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam" yang pada prinsipnya memosisikan manusia sebagaimana layaknya manusia sebagai perintah Tuhan (atau syari'ah) dan mengarahkan semua aturan kepada ketentuan ajaran Islam secara total seperti tertuang dalam pasal 19 poin d yang berbunyi; "Tidak ada kejahatan atau penghukuman kecuali ditetapkan oleh ajaran Islam (syari'ah)". Deklarasi ini menyimpan misteri dan potensi terror. Alasannya adalah, kalau ajaran Islam yang dipergunakan adalah ajaran yang particular (yang dalam bahasanya an-Na'im disebut "syari'ah historis"; suatu ajaran yang bernada keras; perintah perang, pemaksaan agama dan larangan riddah), maka pasal ini dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan dan pemaksaan agama (dan keyakinan).
Dari dua tipologi pemikiran tersebut, Moh. Dahlan mengatakan bahwa pemikiran ini adalah bercorak "theosentris". Dengan kata lain, ketentuan Tuhan (ajaran Islam) menjadi parameter utama dan manusia hanya mengikuti, walaupun ketentuan yang diberikan Tuhan itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pemikiran reformis-sekularis menekankan pentingnya kehidupan duniawi dan manusia diarahkan untuk tidak menggunakan ketentuan agama (ajaran Islam). Pemikiran ini tidak mementingkan persoalan agama, dan sebaliknya justru kepentingan manusia menjadi prioritas utama. Oleh karenanya, tipologi pemikiran ini disebut "anthroposentris". Sedang konsep kebebasan beragama dalam pemikiran ini sepenuhnya berpijak pada ketentuan HAM international, yang meliputi; kebebasan masuk, memeluk dan mengamalkan agama, baik sendiri maupun bersama, dan di muka umum ataupun tertutup.
Pemikiran reformis-super fundamentalis memunyai sikap kritis dan obyektif dalam menyikapi pemikiran HAM Islam dan pemikiran HAM international. Ciri pemikirannya adalah menjawab tuntutan zaman secara rasional dan realistis. Oleh karenanya, pemikiran ini memahami ajaran Islam dengan cara menjadikan ajaran Islam yang prinsipil (universal) sebagai pijakan utama dan ajaran Islam yang tidak prinsipil (tekstual-praktis) sebagai pelengkap yang perlu diukur dengan ajaran Islam yang prinsipil itu. Dan dengan ini, maka kebebasan beragama telah memunyai jalan yang mudah menuju kebebasan yang sebenarnya.
Dari empat tipologi pemikiran HAM di atas, Moh. Dahlan menyimpulkan bahwa pemikiran HAM an-Na'im memunyai kesamaan dengan tipologi pemikiran reformis-super fundamentalis. Ia memunyai sikap kritis dan obyektif dalam memandang pemikiran HAM Islam dan pemikiran HAM international. Ciri pemikirannya adalah ia menjawab tuntutan zaman dengan cara yang realistis dan rasional. Dari hal ini, ia kemudian membangun sintesis pemikiran HAM melalui dua tahap (1) pendekatan diskursus internal yang berfungsi untuk melakukan kritik terhadap pemikiran HAM Islam. Sedang metode yang dipergunakan adalah nasakh (yang telah digagas oleh Mahmoud Muhamed Taha ), yaitu: perpindahan dari ajaran Islam yang praktis kepada ajaran Islam yang universal sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dari pendekatan ini, an-Na'im menyimpulkan bahwa kebebasan beragama dalam Islam pada dasarnya tidak hanya meliputi; kebebasan untuk masuk, memeluk, dan mengamalkan suatu agama tertentu yang dikehendaki, tetapi juga kebebasan untuk pindah dari satu agama pada agama lain, baik dari agama Islam pada agama lain atau sebaliknya, dan kebebasan untuk percaya atau tidak percaya pada agama (atau Allah). (2) pendekatan diskursus eksternal (cross-cultural approach) yang berfungsi untuk memertemukan suatu kultur dengan kultur lainnya yang berbeda. Dan metode yang digunakan adalah principle of reciprocity (prinsip timbal balik). Dari dua pendekatan ini, pemikiran HAM an-Na'im dapat dilihat relevansi pemikirannya di Indonesia, terutama ketika menghadapi upaya formalisasi agama yang dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia, yang tidak rasional dan realistis; tidak rasional karena telah menjadikan pesan-pesan tekstual-praktis dari ajaran Islam (seperti memakai jilbab) yang pada dasarnya sebagai sarana menjadi tujuan, dan tidak realistis karena telah memberlakukan secara paksa pesan-pesan itu di masa sekarang.
Kontribusi pemikiran HAM an-Na'im menurut Moch. Dahlan meliputi: (1) penyelesaian problem keagamaan dengan cara mencari akar permasalahannya. (2) ajaran Islam yang universal menjadi inspirasi dalam menjawab tuntutan perkembangan zaman. (3) perkembangan pemikiran HAM internasional dan pemikiran HAM Islam diperluas, dikoreksi, dan dipertegas, baik dalam tataran prinsipil maupun tataran praksisnya.
Sedang temuan Moh. Dahlan meliputi; (1) ajaran Islam yang teknis-praktis (yang mengekang kebebasan dan berpotensi konflik) perlu dihapus (atau di-nasakh) kekuatan hukumnya secara permanen dengan ajaran Islam yang universal. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan kebebasan beragama yang sebenarnya. Oleh karenanya, konsep nasakh yang dibangun oleh an-Na'im perlu dirubah. (2) pemikiran HAM an-Na'im pada dasarnya menerima pemikiran fundamentalis, tetapi dengan tipologi pemikiran yang baru, yaitu metode nasakh dan principle of reciprocity yang dianutnya. Dan bersamaan dengannya, ia juga menerima tipologi pemikiran reformis-sekularis (seperti unsur rasionalitasnya). Dengan demikian, dalam perspektif "theosentris" dan "anthroposentris", pemikiran HAM an-Na'im bercorak "anthroposentris" yang di dalamnya terkandung unsur-unsur "theosentris" (ajaran Islam). Artinya, unsur-unsur kemanusiaan menjadi pertimbangan signifikan, dan bersamaan dengannya dilandasi oleh kesadaran nilai-nilai keagamaan dan keyakinan.
Analisis Tesis
Setelah kami membuka-buka tesis saudara Moh. Dahlan ini kami tergelak karena tidak menemukan satu kalimat (bahkan satu huruf) pun yang berupa tulisan Arab. Semua tulisan Arab yang ada hanyalah berupa transliterasi . Kami tidak tahu apakah si penulis mengalami Arabic Phobia ataukah ia merasa malas untuk mengetik kata Arab atau memang tidak bisa mengetik tulisan Arab.
Dekonstruksi Konsep Riddah
Selain tidak mencantumkan font Arab, tesis ini juga bertaburan di sana-sini hasil pikiran dari para pemikir liberal seperti Harun Nasution, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Abdul Munir Mulkhan, Nasr Hamid dan lain-lain. Para pemikir itu saling sahut menyahut dan dukung mendukung untuk menolak konsep riddah dalam Islam dalam hubungannya dengan HAM Internasional.
Gus Dur misalnya, dalam tesis ini dikatakan bahwa ia sangat setuju dengan HAM Internasional terutama pada pasal 18 tentang kebebasan bagi siapa saja untuk memilih dan berpindah agama. Menurutnya, seandainya Islam memberlakukan hukum riddah maka orang Islam yang telah murtad yang jumlahnya berjuta-juta akan mendapat hukuman mati. Oleh karena itu ajaran Islam tidak bisa diterapkan di Negara ini, apalagi menjadikan ajaran Islam sebagai salah satu ajaran resmi Negara.
Padahal al-Qur'an sudah menjelaskan dengan sangat jelas bahwa orang yang murtad harus dihukum bunuh.
ودوا لو تكفرون كما كفروا فتكونون سواء فلا تتخذوا منهم أولياء حتى يهاجروا في سبيل الله فإن تولوا فخذوهم واقتلوهم حيث وجدتموهم ولا تتخذوا منهم وليا ولا نصيرا
"Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong".
Rasulullah pun sudah jelas menegaskan bahwa siapa saja murtad harus dihukum bunuh:
Rasulullah pun sudah jelas menegaskan bahwa siapa saja murtad harus dihukum bunuh:
عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ فَأَحْرَقَهُمْ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
"Dari Ayub dari Ikrimah ia berkata: Dihadapkan orang-orang zindiq kepada Ali r.a kemudian Ali membakar mereka. Kemudian hal ini sampai kepada Ibnu Abbas maka ia berkata: “Seandainya saya sebagai Ali maka saya tidak akan membakar mereka karena larangan Rasulullah: “Janganlah kalian mengadzab manusia dengan adzab Alloh” dan saya akan membunuh mereka sebagaimana Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang mengganti agama, maka bunuhlah dia."
Alasan Gus Dur yang menyatakan bahwa akan sangat banyak orang yang akan dihukum mati tidak bisa diterima secara ilmiah. Dalam kajian ilmiah, seseorang yang berbicara mengenai jumlah maka harus dibuktikan dengan data yang valid. Jika tidak bisa memberikan data yang valid maka seyogyanya ia tidak mengatakan jumlah, apalagi dengan bahasa yang hiperbolis begitu.
Dekonstruksi Konsep Makkiyah dan Madaniyah
Selain mendekonstruksi konsep riddah, dan dzimmah, tesis ini mengakomodir pemikiran an-Na'im yang mencoba mendekonstruksi konsep ayat periode Mekkah dan ayat periode Madinah. Menurutnya, al-Qur'an dibagi dalam dua periode yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah adalah pesan permanen dari ajaran Islam yang bersifat universal dan fundamental. Jadi seluruh ayat al-Qur'an yang mengandung pesan universal dan manusiawi ia masukkan ke dalam kategori ayat-ayat Makkiyah. Dan begitu pula sebaliknya. Hal ini berseberangan dengan konsep jumhur yang menyebut makkiyah sebagai ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah. Dan ayat-ayat yang diturunkan di Madinah disebut dengan ayat-ayat Madaniyah.
Mengapa an-Na'im memunyai definisi berbeda dengan jumhur? Menurut kami adalah karena ia hendak menasakh ayat-ayat yang "Madaniyah" . Sebab menurutnya ayat-ayat yang "Makkiyah" itu berisi pesan yang autentik dan qoth'i (memunyai tingkat kepastian hukum yang kuat dan abadi) yang tidak mungkin dinasakh.
Dengan kata lain, an-Na'im ingin menghapus ayat-ayat yang sifatnya tidak manusiawi dan tidak universal. Sebuah cara berpikir yang menurut kami sangat kacau balau dan dibuat-buat. Tetapi anehnya pola pikir seperti ini (kacau balau) seragam disuarakan oleh orang-orang liberal. Hanya karena menjunjung nilai kemanusiaan (terkadang bersembunyi di balik dalil mengutamakan maqasid) , mereka menasakh hukum-hukum syari'ah yang sudah qot'iy dan kontinue. Padahal nasakh sesudah wafatnya Rasulullah adalah sesuatu yang batil (Al-Muwafaqat, ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, 2:209)
Menurut ‘Abdul Majid al-Najjar, akar permasalahan disini sebenarnya terletak pada kesalahan kaum liberalis yang mencoba memisahkan antara maqsad (obyektif) dan hukum yang menjadi wasilah kepada maqasid. Mereka melihat seolah kedua hal ini sesuatu yang berbeda, padahal sebenarnya mereka adalah satu. Apa yang diperintahkan Allah secara pasti tentunya pastilah akan mendatangkan maslahah, dan begitu juga sebaliknya. (1993:107). Bahkan menurut Qaradawi prinsip “dimanapun disebutkan adanya masalahah, disitu pasti ada hukum shara’”, seharusnya di balik menjadi: haitsuma wujida al-Shar’ fa tsamma al-maslahah (Dimanapun ada hukum syara’ disitu pasti ada maslahah). Karena terkadang apa yang kita anggap maslahah sebenarnya bukan maslahah, mungkin saja ia sudah di mulghah (dibatalkan) oleh syara’. Dalam keadaan seperti itu sudah tentu syara’ tidak ada. Akan tetapi ketika syari’at ada, sudah pasti maslahah juga hadir disana, karena tidak mungkin Allah mensyari’atkan sesuatu tanpa ada maslahahnya, meskipun terkadang akal kita tidak dapat menangkap dan memahami maslahah tersebut. Pada saat itulah keimanan dan keislaman kita diuji, apakah kita menerima dan melaksanakannya dengan jawaban sami’na wa ata’na atau sebaliknya sami’na wa ‘asayna.
Alasan Gus Dur yang menyatakan bahwa akan sangat banyak orang yang akan dihukum mati tidak bisa diterima secara ilmiah. Dalam kajian ilmiah, seseorang yang berbicara mengenai jumlah maka harus dibuktikan dengan data yang valid. Jika tidak bisa memberikan data yang valid maka seyogyanya ia tidak mengatakan jumlah, apalagi dengan bahasa yang hiperbolis begitu.
Dekonstruksi Konsep Makkiyah dan Madaniyah
Selain mendekonstruksi konsep riddah, dan dzimmah, tesis ini mengakomodir pemikiran an-Na'im yang mencoba mendekonstruksi konsep ayat periode Mekkah dan ayat periode Madinah. Menurutnya, al-Qur'an dibagi dalam dua periode yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah adalah pesan permanen dari ajaran Islam yang bersifat universal dan fundamental. Jadi seluruh ayat al-Qur'an yang mengandung pesan universal dan manusiawi ia masukkan ke dalam kategori ayat-ayat Makkiyah. Dan begitu pula sebaliknya. Hal ini berseberangan dengan konsep jumhur yang menyebut makkiyah sebagai ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah. Dan ayat-ayat yang diturunkan di Madinah disebut dengan ayat-ayat Madaniyah.
Mengapa an-Na'im memunyai definisi berbeda dengan jumhur? Menurut kami adalah karena ia hendak menasakh ayat-ayat yang "Madaniyah" . Sebab menurutnya ayat-ayat yang "Makkiyah" itu berisi pesan yang autentik dan qoth'i (memunyai tingkat kepastian hukum yang kuat dan abadi) yang tidak mungkin dinasakh.
Dengan kata lain, an-Na'im ingin menghapus ayat-ayat yang sifatnya tidak manusiawi dan tidak universal. Sebuah cara berpikir yang menurut kami sangat kacau balau dan dibuat-buat. Tetapi anehnya pola pikir seperti ini (kacau balau) seragam disuarakan oleh orang-orang liberal. Hanya karena menjunjung nilai kemanusiaan (terkadang bersembunyi di balik dalil mengutamakan maqasid) , mereka menasakh hukum-hukum syari'ah yang sudah qot'iy dan kontinue. Padahal nasakh sesudah wafatnya Rasulullah adalah sesuatu yang batil (Al-Muwafaqat, ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, 2:209)
Menurut ‘Abdul Majid al-Najjar, akar permasalahan disini sebenarnya terletak pada kesalahan kaum liberalis yang mencoba memisahkan antara maqsad (obyektif) dan hukum yang menjadi wasilah kepada maqasid. Mereka melihat seolah kedua hal ini sesuatu yang berbeda, padahal sebenarnya mereka adalah satu. Apa yang diperintahkan Allah secara pasti tentunya pastilah akan mendatangkan maslahah, dan begitu juga sebaliknya. (1993:107). Bahkan menurut Qaradawi prinsip “dimanapun disebutkan adanya masalahah, disitu pasti ada hukum shara’”, seharusnya di balik menjadi: haitsuma wujida al-Shar’ fa tsamma al-maslahah (Dimanapun ada hukum syara’ disitu pasti ada maslahah). Karena terkadang apa yang kita anggap maslahah sebenarnya bukan maslahah, mungkin saja ia sudah di mulghah (dibatalkan) oleh syara’. Dalam keadaan seperti itu sudah tentu syara’ tidak ada. Akan tetapi ketika syari’at ada, sudah pasti maslahah juga hadir disana, karena tidak mungkin Allah mensyari’atkan sesuatu tanpa ada maslahahnya, meskipun terkadang akal kita tidak dapat menangkap dan memahami maslahah tersebut. Pada saat itulah keimanan dan keislaman kita diuji, apakah kita menerima dan melaksanakannya dengan jawaban sami’na wa ata’na atau sebaliknya sami’na wa ‘asayna.
Menjejalkan Konsep HAM Internasional dalam Islam
An-Na'im menawarkan konsep kebebasan sebebas-bebasnya pada setiap manusia. Karena menurutnya kebebasan adalah hak dasar setiap manusia. Oleh karena itu, tak seorang pun di dunia yang dapat merampas hak-hak dasar seseorang dengan alasan apa pun. Kebebasan merupakan hak kodrati yang dimiliki oleh manusia secara mutlak.
An-Na'im juga menyatakan bahwa syar'iah Islam yang ada tidak memadai dan melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu, syari'ah Islam perlu direvisi, dari perspektif Islam, untuk memelihara (dan membangun basis) hak asasi manusia. Artinya, syari'ah Islam tidak boleh dipahami sebagai sebuah aturan final dan konklusif yang harus diberlakukan tanpa ada pembaruan dan pembatasan.
Berdasarkan alasan tersebut, an-Na'im memandang perlu untuk merekonstruksi dan mendekonstruksi syari'ah Islam (historis) untuk membangun syari'ah Islam (baru). Sedang pembaruan syari'ah Islam yang dilakukan oleh an-Na'im meliputi; Pembaruan Konstitusionalisme Islam, Pembaruan Pidana Islam, Pembaruan Peraturan (Hubungan) Internasional Islam, yang menjadi bagian signifikan bagi Pembaruan menyangkut bidang Hak Asasi Manusia.
Lebih lanjut dalam pembahasan ini, an-Na'im mengungkapkan permasalahan khusus dalam ajaran Islam yang melanggar HAM yakni tentang riddah. Menurutnya, aturan riddah pada dasarnya hanya turun untuk kebutuhan temporal, sehingga kalau tuntutan zaman sekarang berbeda, dimana kesamaan dan kebebasan menjadi tuntutan mendesak dan keniscayaan, maka ajaran Islam yang harus diberlakukan adalah ajaran Islam periode "Makkah".
Menurutnya, seharusnya Islam memberikan kebebasan pada manusia, termasuk dalam hal memilih agama. Ajaran ini melarang pemaksaan terhadap seseorang (yang beragama non-Islam) untuk pindah dan masuk pada agama (Islam), atau sebaliknya. Ajaran Islam, menurut an-Na'im, tidak hanya memberi kebebasan untuk pindah agama, tetapi juga memberi kebebasan kepada manusia untuk percaya atau tidak percaya (pada agama atau Allah).
Inilah pandangan batil an-Na'im. Ia telah salah kaprah memaknai kebebasan. Di Amerika, negara yang katanya paling liberal sekalipun, tidak ada yang namanya bebas sebebas-bebasnya. Pasti ada ruang-ruang yang aturannya ketat. Sedangkan di Indonesia, dengan dalih kebebasan berekspresi, Inul tampil seronok di televisi yang disaksikan oleh seluruh manusia se-nusantara.
Kebebasan tanpa batas adalah sesuatu yang nisbi. Ambillah contoh kaum nudis yang bebas untuk telanjang. Di sana ada tetap ada ketidakbebasan yakni ketidakbebasan untuk berpakaian.
Rekomendasi
Setelah membaca, menelaah dan mengkaji tesis saudara Moh. Dahlan ini kami menyimpulkan bahwa ini adalah kajian yang tidak menggunakan Islam sebagai worldview. Sebaliknya saudara Moh. Dahlan menggunakan pisau analisis yang berseberangan dengan pedoman Islam. Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya jika kami merekomendasikan bahwa karya ini TIDAK LAYAK dijadikan pedoman atau referensi untuk kajian Islam.
Karena mereka pun tidak menggunakan produk ulama salafus shalih sebagai rujukan utama. Kalaupun mereka menyitir produk ulama salafus shalih adalah dalam rangka merendahkan dan mengejek. Bukan dalam rangka untuk menurunkan tulisan yang cover both side.
Allah bahkan sampai tiga kali memaparkan dalam al-Qur’an tentang predikat bagi orang yang tidak menghukumi dengan hukum Allah.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة: 44)
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Ma’idah (5): 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (المائدة: 45)
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzolim.” (QS. Al-Ma’idah (5): 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (المائدة: 47)
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.” (QS. Al-Ma’idah (5): 47)
Sudah sedemikian jelas peringatan Allah, akan tetapi barangkali mata hati mereka telah tertutup sehingga tidak membaca ayat Allah ini.
Penutup
Islam adalah agama yang sudah sempurna sehingga tidak perlu untuk diotak-atik atau disesuaikan dengan tuntutan zaman. Selama 23 tahun Rasulullah memakai al-Qur'an sebagai pedoman utama untuk menyelesaikan persoalan ummatnya. Dan kenyataannya semua persoalan bisa terselesaikan dengan baik. Adanya upaya untuk merubah ajaran Islam (baca: dekonstruksi Islam) hanyalah upaya pihak-pihak yang sengaja menghancurkan Islam dari dalam. Dengan dalih masalih ummah mereka (orang-orang Liberal wa akhowatuha) merubah syari'ah Islam yang sudah final. Persoalan-persoalan yang pernah ada dan selesai dengan baik dicoba untuk digali kembali dan ditetapkan hukumnya secara berbeda dengan ulama salafus shalih.
Sementara orang-orang Barat sibuk mempelajari teknologi, ummat Islam sibuk untuk merusak agamanya. Jika hal ini terus berlanjut, bagaimana mungkin umat Islam bisa mengungguli orang-orang Barat? Sesuatu yang mestinya tinggal dijalankan (tidak perlu susah-susah dibahas atau dirumuskan) malah diotak-atik sedemikian rupa. Orang Barat sudah menciptakan kecanggihan teknologi yang beragam, umat Islam masih sibuk mendekonstruksi ajarannya.
Mudah-mudahan Islam akan kembali kepada kejayaannya. Amin. Amin. Amin. Yâ mujîbas sâ’ilîn.
Daftar Pustaka
Abdurrahman Wahid, Penafsiran Kembali Kebenaran Relatif, dalam Kedaulatan Rakyat, Jum'at 7 Januari 2003.
Adian Husaini, dkk. Kumpulan Makalah Bahan Kuliah Islamic Wordlview, (Bogor: UIK, 2003).
Al-Maktabah al-Syamilah versi 2.11
Dahlan, Moh. Kebebasan Beragama Menurut Pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) Abdullahi Ahmed an-Na'im. (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003)
Digital Qur'an versi 3.2 (Sony Sugema, 2003-2004)
Irawan, Deni. "Perkawinan Beda Agama dan Hak Asasi manusia di Indonesia." (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Mahmoud Muhamed Taha, The Second Message of Islam, terjemahan An-Na'im (Syracuse: Syracuse University Press, 1987).
Wafa, Abdul. "Independensi Wanita dalam Pelaksanaan Akad Nikah dan Hubungannya dengan Penegakan Hak Asasi Manusia (Studi Relasi Ayat-ayat tentang Nikah dan Hak Asasi Manusia [HAM])" (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005)
(guruGO.blogspot.com)
Posting Komentar
Anda merasa mendapatkan KEBAIKAN dari postingan ini? SILAHKAN BERKOMENTAR secara santun, bijak, dan tidak menghakimi. TERIMAKASIH telah sudi meninggalkan komentar di sini. Semoga hidup Anda bermakna. amin...