|
Oleh: Muhsin Suny M.[i]
Sejak menikah, kami sudah sepakat untuk tidak
memasukkan televisi ke dalam rumah tangga kami. Alhamdulillah program ini mampu
berjalan selama delapan tahun tanpa hambatan sama sekali. Namun, sejak
kepindahan kami ke rumah dan lingkungan baru, mulai timbul masalah dengan
anak-anak kami. Si sulung (perempuan) yang sudah kelas 1 SD memiliki hobi baru:
menonton televisi di rumah tetangga. Jika sudah menonton, ia bisa menghabiskan
waktu berjam-jam di rumah tetangga. Satu hal yang sangat membuat kami khawatir.
Pertama, kami tidak bisa mengontrol tontonan apa saja yang dikonsumsi oleh anak
kami tersebut. Kedua, kami takut akan terjadi sesuatu pada anak kami karena berada
di rumah orang lain. Mengingat ada sekian kejadian pelecehan anak di bawah umur
yang dilakukan oleh tetangga sendiri.
Kami pun
memulai berdiskusi. Istri menghendaki untuk mengakhiri saja program rumah tanpa
televisi ini. Sedang saya tetap bersikukuh dan istiqomah untuk meneruskan
program ini: tidak menyediakan televisi di rumah. Istri beralasan sejak anak
kami hobi main ke rumah tetangga, ia merasa kehilangan anak dan selalu was-was
dengan keamanan anak. Adanya televisi di rumah menurutnya akan lebih aman karena ia bisa mengontrol
tontonan anak-anak dan tidak khawatir terjadi sesuatu dengan mereka.
Adapun saya beralasan, tidak ada jaminan orangtua
selalu bisa mengontrol tontonan televisi anak-anak. Jangankan televisi yang
siarannya tidak ada matinya, film-film yang sudah saya sediakan untuk anak-anak
di komputer pun, istri amat jarang menemani mereka menonton. Jadi saya pesismis
jika ia kelak mau menemani dan sekaligus mengarahkan tontonan anak-anak.
Kebanyakan orangtua punya kesibukan sendiri yang biasanya sangat jauh dari
dunia anak-anak. Maka saya pun bertekad akan semakin memperbanyak film-film
yang aman untuk anak-anak saya di komputer.
Saya pun memulai untuk adu cepat dengan
program-program televisi. Berbagai usaha saya lakukan: download film-film dari
internet, membeli saat ada Islamic book fair, pinjam dari teman-teman, dan
mencari di rental film. Saya pun disibukkan dengan kegiatan baru: menonton
terlebih dahulu film yang akan saya suguhkan untuk anak-anak saya. Jika ada
adegan atau percakapan yang tidak layak tonton langsung saya potong dengan
software pemotong film. Namun saya juga pernah harus membuang sekian gigabyte film
yang berhari-hari saya download karena terlalu banyak negatifnya bagi anak sehingga
susah dipotong. Pengalaman saya, ternyata tidak semua film yang ditujukan untuk
anak, aman untuk dikonsumsi. Bahkan film yang masuk kategori religi sekalipun
tidak ada jaminan aman dikonsumsi anak. Ambil contoh film Sang Pencerah.
Memang secara umum film Sang Pencerah cukup aman
dikonsumsi oleh keluarga berbagai umur, akan tetapi di pertengahan film ada
dialog yang diucapkan oleh Sujiwo Tejo yang menurut saya sangat kasar:
“Hahaha mendalami Islam? Berapa
banyak kyai-kyai di Kauman itu yang pergi ke Mekah, sekali dua kali bahkan tiga
kali pergi ke Mekkah tetapi tetap guoblok soal agama. Guoblok!!!
Kalau kamu pergi ke Mekah tetapi tidak membawa perubahan apa-apa, malah semakin
tunduk dengan ngarso dalem, apa bedamu dengan kyai-kyai majnun di Kauman
itu! Apa?!” (DVD Film Sang Pencerah. File VTS_02_1.VOB pada menit ke 07:43
sampai 08:35)
Sejak menonton film tersebut, anak-anak saya fasih
berbicara ‘goblok atau guoblok’. Sebuah kosakata kasar yang sama sekali tidak
pernah keluar dari mulut mereka sebelum menonton film tersebut. Jadi, kita
harus rela meluangkan waktu untuk menyeleksi film-film yang layak tonton untuk
anak-anak kita. Jangan kita serahkan tarbiyah anak-anak kita kepada
televisi.
Menjadi orangtua butuh perjuangan yang tidak mudah.
Dan perjuangan ‘melawan’ siaran televisi ternyata sangat melelahkan. Ah, betapa
bahagianya jika di negeri ini hadir televisi nasional yang aman untuk
anak-anak. Semoga!
+ Komentar + 2 Komentar
subhanaallah sama dgn rumahku kanda tak ada tv,kakak yg djakarta ingin mbelikan tv komplit dgn parabola tapi ibu mnolak jd ampe skarang ga'ada tv....kanda ku ingin jd pnulis tp..sering malez jd cuma jd sbuah cita2 tanpa ralita trus gmn kanda???
Alhamdulillaah , bapak Muhsin sependapat dengan saya , malah saya dibelikan Orang tua, TV yang Sangat Luas sekali dengan faasiltas lain yang mendukung untuk menonton terus menerus. Namun Alhamdulillah juga Saya Sudah Akhil baligh. jadinya saya wajib memilih acara yang baik, Tapi sangat seedikit sekali yang benar - benar baik.
Posting Komentar
Anda merasa mendapatkan KEBAIKAN dari postingan ini? SILAHKAN BERKOMENTAR secara santun, bijak, dan tidak menghakimi. TERIMAKASIH telah sudi meninggalkan komentar di sini. Semoga hidup Anda bermakna. amin...