Pengalaman besar saya kemarin yang mungkin akan dialami oleh orang lain. Kemarin hari Jum'at, secara mendadak Bp. Natsir Arifin tidak bisa khotbah Jum'at di masjid al-Kautsar. Beliau kemudian lapor kepada Bp. Dedi dan Bp. Herman. Pak Herman pun kemudian datang menemui saya mengatakan tentang hal tersebut.
"Monggo siapa yang akan mengganti pak Natsir Arifin, boleh pak Muhsin apa pak Hudaya." begitu kata pak Herman kepada saya.
Saya, karena tidak ada persiapan apa-apa, berkata kepada pak Herman agar memberitahukan kepada pak H. Soegito. Untuk sementara kekhawatiran saya berkurang, karena saya yakin pak gito pasti mendapatkan gantinya.
Tapi, inilah yang namanya takdir, ketika jam sudah menunjukkan pukul 12 kurang sepuluh, tidak ada seorangpun yang maju berkhotbah. Padahal biasanya jam segitulah khotib naik mimbar sesuai aturan yang kami buat. Akhirnya, pak gito pun mencari saya dan menyuruh saya khotbah. Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'un. Betul saya sudah terbiasa ceramah. Tapi untuk ceramah tanpa persiapan, saya belum pernah. Apalagi di hadapan orang sebanyak jama'ah jum'at yang isinya adalah orang-orang pintar.
Jujur, sampai saya naik mimbar dan salam pembuka, saya tidak tahu apa yang harus saya sampaikan kepada jama'ah Jum'at. Saya baru mendapatkan 'hidayah' ketika sang muadzin berdiri dan mengumandangkan adzan. Seolah ada yang berbisik, "Oh ya, bukankah bulan ini adalah bulan Rabi'ul Awwal? Bulan yang sangat mulia karena 14 abad yang lalu lahir pembaharu pada bulan ini?"
Akhirnya saya pun menyampaikan seperti bisikan tadi. Bahwa bulan ini adalah bulan yang mulia. Karena pada bulan inilah Rasulullah dilahirkan. Memperingati kelahiran Rasulullah bukan dengan cara mengadakan Peringatan Maulid Nabi, tetapi dengan cara meresapi kembali sejarah beliau. Menghayati kembali ajaran-ajaran beliau. Bukan dengan mengadakan ritual keagamaan yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah. Tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan para tabi'in sekalipun. Perbuatan yang cenderung kepada bid'ah, yakni mengada-adakan ritual baru dalam Islam.
Saya tidak mengatakan bahwa Peringatan Maulid Nabi itu haram. Tapi hendaklah peringatan itu dikemas supaya tidak terkesan sebagai sebuah peribadatan. Bahkan dulu ketika saya masih kecil (dan sekarangpun masih ada ritual seperti ini), dalam salah satu session acara kita harus berdiri seolah-olah Rasulullah hadir di situ. Ini kan mengada-ada. Mestinya acara peringatan Maulid dikemas dengan cara menerangkan tentang riwayat beliau, mempelajari tentang akhlaq mulia beliau untuk kemudian berusaha mengamalkan.
Apa yang terjadi dengan saya kemarin mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran bagi saya pribadi dan pembaca blog ini agar selalu siap-siap. Siapa tahu kapan-kapan ilmu kita dibutuhkan. Repotnya adalah ketika kita sudah sering siap-siap, tapi tidak juga dipakai. Biasanya kita kemudian malas untuk belajar. Dan ketika kita sudah malas belajar dan tidak pernah siap-siap, tiba-tiba tugas itu datang. Inilah takdir. Tidak bisa diundurkan dan tidak bisa dimajukan. Sebagaimana mati atau ajal.
Allahumma shalli wasallim 'ala muhammad
"Monggo siapa yang akan mengganti pak Natsir Arifin, boleh pak Muhsin apa pak Hudaya." begitu kata pak Herman kepada saya.
Saya, karena tidak ada persiapan apa-apa, berkata kepada pak Herman agar memberitahukan kepada pak H. Soegito. Untuk sementara kekhawatiran saya berkurang, karena saya yakin pak gito pasti mendapatkan gantinya.
Tapi, inilah yang namanya takdir, ketika jam sudah menunjukkan pukul 12 kurang sepuluh, tidak ada seorangpun yang maju berkhotbah. Padahal biasanya jam segitulah khotib naik mimbar sesuai aturan yang kami buat. Akhirnya, pak gito pun mencari saya dan menyuruh saya khotbah. Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'un. Betul saya sudah terbiasa ceramah. Tapi untuk ceramah tanpa persiapan, saya belum pernah. Apalagi di hadapan orang sebanyak jama'ah jum'at yang isinya adalah orang-orang pintar.
Jujur, sampai saya naik mimbar dan salam pembuka, saya tidak tahu apa yang harus saya sampaikan kepada jama'ah Jum'at. Saya baru mendapatkan 'hidayah' ketika sang muadzin berdiri dan mengumandangkan adzan. Seolah ada yang berbisik, "Oh ya, bukankah bulan ini adalah bulan Rabi'ul Awwal? Bulan yang sangat mulia karena 14 abad yang lalu lahir pembaharu pada bulan ini?"
Akhirnya saya pun menyampaikan seperti bisikan tadi. Bahwa bulan ini adalah bulan yang mulia. Karena pada bulan inilah Rasulullah dilahirkan. Memperingati kelahiran Rasulullah bukan dengan cara mengadakan Peringatan Maulid Nabi, tetapi dengan cara meresapi kembali sejarah beliau. Menghayati kembali ajaran-ajaran beliau. Bukan dengan mengadakan ritual keagamaan yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah. Tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan para tabi'in sekalipun. Perbuatan yang cenderung kepada bid'ah, yakni mengada-adakan ritual baru dalam Islam.
Saya tidak mengatakan bahwa Peringatan Maulid Nabi itu haram. Tapi hendaklah peringatan itu dikemas supaya tidak terkesan sebagai sebuah peribadatan. Bahkan dulu ketika saya masih kecil (dan sekarangpun masih ada ritual seperti ini), dalam salah satu session acara kita harus berdiri seolah-olah Rasulullah hadir di situ. Ini kan mengada-ada. Mestinya acara peringatan Maulid dikemas dengan cara menerangkan tentang riwayat beliau, mempelajari tentang akhlaq mulia beliau untuk kemudian berusaha mengamalkan.
Apa yang terjadi dengan saya kemarin mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran bagi saya pribadi dan pembaca blog ini agar selalu siap-siap. Siapa tahu kapan-kapan ilmu kita dibutuhkan. Repotnya adalah ketika kita sudah sering siap-siap, tapi tidak juga dipakai. Biasanya kita kemudian malas untuk belajar. Dan ketika kita sudah malas belajar dan tidak pernah siap-siap, tiba-tiba tugas itu datang. Inilah takdir. Tidak bisa diundurkan dan tidak bisa dimajukan. Sebagaimana mati atau ajal.
Allahumma shalli wasallim 'ala muhammad
Posting Komentar
Anda merasa mendapatkan KEBAIKAN dari postingan ini? SILAHKAN BERKOMENTAR secara santun, bijak, dan tidak menghakimi. TERIMAKASIH telah sudi meninggalkan komentar di sini. Semoga hidup Anda bermakna. amin...