Kebanyakan
orang Ingkar Sunnah selalu memakai dalil dalam rangka menolak keberadaan
hadits dengan menyatakan bahwa Rasulullah melarang penulisan hadits. Jadi siapa yang
masih berpegang pada hadits berarti berkhianat pada Rasulullah SAW. Hadits
pelarang yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut:
مسند أحمد - عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَكْتُبُوا عَنِّي
شَيْئًا سِوَى الْقُرْآنِ وَمَنْ كَتَبَ شَيْئًا سِوَى الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ.
Dari Abu Sa’id
ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku selain
al-Qur’an. Siapa yang menulis sesuatu dariku selain al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya.” (Musnad
Ahmad Juz 22 Halaman 208 Nomor 10663)
Memang
hadits ini menceritakan tentang larangan Rasulullah SAW terhadap penulisan
kalimat yang keluar dari mulut beliau selain al-Qur’an. Namun dalam riwayat
lain justru Rasulullah menyuruh kepada Abdullah bin Amr bin al-Ash untuk
menulis apa saja yang keluar dari mulut beliau:
سنن أبى داود - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو قَالَ كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ وَقَالُوا
أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا فَأَمْسَكْتُ عَنْ الْكِتَابِ فَذَكَرْتُ
ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ
إِلَى فِيهِ فَقَالَ اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا
حَقٌّ
Dari ‘Abdillah
bin ‘Amr ia berkata: Aku menulis semua yang kudengar dari Rasulullah SAW untuk
kuhafalkan lalu orang-orang Quraisy mencelaku dan mereka berkata: Apakah kamu
menulis semua yang kamu dengar dari Rasulullah SAW? Padahal ia adalah manusia
biasa yang berbicara dalam keadaan marah dan keadaan gembira? Maka aku pun
berhenti menulis hingga aku menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Maka
beliau memberi isyarat dengan jari tangan ke mulut beliau sambil bersabda: “Tulislah!
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar dari mulutku ini
kecuali sesuatu yang benar.” (Sunan Abu Daud Juz 10 Halaman 55 Nomor 3161).
Hadits ini
jelas menunjukkan bahwa Rasulullah menyuruh kepada ‘Abdullah bin ‘Amr agar menulis
apa saja yang keluar dari mulut beliau. Menurut Dr. Izzuddin Husain as-Syekh, hadits
ini juga menasakh atau membatalkan hadits pertama yang melarang menulis
hadits. (Dr. Izzuddin Husain as-Syekh, “Menyikapi Hadits-Hadits
yang Saling Bertentangan”, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 114-116.
Nabi Saw.
mengizinkan Abdullah bin Amr bin Ash menulis hadits karena ia telah bisa
membaca dan menulis. Naskah Abdullah bin Amr dinamai Shahifah Shadiqah /Buku
yang benar karena ditulis langsung dari Nabi Saw. Naskah ini berisi
sebanyak 1000 hadis dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal
penulisnya. Cucunya yang bernama ‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan hadis-hadis
tersebut sebanyak 500 hadis.
Bila naskah Shadiqah tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya maka dapatlah kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa’I, Sunan At-Tirmuzi dan Sunan Ibnu Majah.
Bila naskah Shadiqah tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya maka dapatlah kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa’I, Sunan At-Tirmuzi dan Sunan Ibnu Majah.
Ibnu Taimiyah
mengatakan: “Pada awalnya memang dilarang menulis hadits, akan tetapi setelah
hadits-hadits Nabi SAW itu sangat banyak dan perlu dijaga dengan ditulis. Saat
itu kekhawatiran hadits-hadits Nabi SAW itu akan bercampur baur dengan ayat-ayat
al-Qur’an dan ucapan manusia biasa sudah dapat dijamin keterpeliharaannya. Terutama
setelah turun ayat 9 Surah al-Hijr: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” Maka dibolehkanlah
menulis hadits. Keperluan menulis hadits juga dilakukan dalam rangka menjaga
adanya upaya pemalsuan hadits.