INILAH risikonya bagi mereka yang bergelut di industri
rokok. Di dalam negeri, mereka diadang sejumlah aturan. Di luar, mereka
dicegat sederet regulasi, terutama oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
dan aktivis antirokok.
Di dalam negeri, yang terasa masih hangat adalah ketika pemerintah menerbitkan PP No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk TembakauBagi Kesehatan. Beleid yang berlaku sejak 24 Desember 2012 ini, seperti ingin mengunci industri rokok berkembang.
PP ini dianggap kalangan industri rokok seperti hantu yang begitu menakutkan. Sebab, lewat PP ini, pemerintah mengetatkan aturan peredaran dan promosi rokok. Misalnya, produsen dilarang memproduksi rokok putih dalam kemasan kurang dari 20 batang. Tujuannya, agar konsumen yang duitnya pas-pasan, semakin sulit membeli sebungkus rokok putih.
Produsen rokok juga diwajibkan mencantumkan peringatan kesehatan pada bungkus rokoknya. Tulisan harus tercantum di bagian atas, depan, dan belakang bungkus rokok. Tulisan harus dicetak jelas dan mencolok.
Produsen juga wajib mencantumkan pernyataan, "Dilarang menjual atau memberi kepada anak berusia di bawah 18 tahun dan perempuan hamil".
Pada samping sisi lain kemasan produk, harus terdapat pernyataan, "Tidak ada batas aman" dan "Mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zatpenyebab kanker".
Tak hanya itu, produsen dilarang mencantumkan kata “Light”, “Ultra Light”, “Mild”, “Extra Mild”, “Low Tar”, “Slim”, “Special”, “Full Flavour”, “Premium” atau kata lain yangmengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, dan pencitraan pada produk.
Tata cara pembuatan iklan rokok pun diatur dalam PP ini, termasuk ruangan untuk merokok dipersempit.
Alasan pemerintah mengetatkan aturan peredaran dan promosi rokok, lantaran jumlah perokok di Indonesia sudah pada tahap mengkhawatirkan. Bayangkan, dalam satu dekade ini, usia rata-rata perokok Indonesia dari semula 19 tahun, kini menjadi 7 tahun. Bahkan, The World Health Organisation (WHO) menyebut, pecandu rokok di Indonesia meningkat hingga 600% atau enam kali lipat dalam 40 tahun belakangan.
PP Tembakau ini merupakan aturan turunan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Memang, pemerintah terlambat mengesahkan PP tersebut. Seharusnya, setahun setelah terbit undang-undang, peraturan turunan sudah keluar.
Maklum, PP ini sempat menimbulkan kisruh antara pemerintah dengan produsen rokok dan petani tembakau, termasuk di kalangan menteri sendiri.
Namun, PP yang sudah berumur hampir setahun itu, sepertinya tak punya “gigi”. Sebab, masih banyak perusahaan rokok yang tidak mengindahkan beleid ini. Apalagi, konsumen terus saja membeli rokok. “Semahal apapun harga rokok, konsumen tetap membeli. Apalagi, daya beli masyarakat terus tumbuh,” ujar Akhmad Nurcahyadi, analis AM Capital.
Selengkapnya, artikel ini bisa disimak di majalah InilahREVIEW edisi ke-12 Tahun III yang terbit, Senin, 11 November 2013. [tjs]
Sumber: Inilah.com
Di dalam negeri, yang terasa masih hangat adalah ketika pemerintah menerbitkan PP No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk TembakauBagi Kesehatan. Beleid yang berlaku sejak 24 Desember 2012 ini, seperti ingin mengunci industri rokok berkembang.
PP ini dianggap kalangan industri rokok seperti hantu yang begitu menakutkan. Sebab, lewat PP ini, pemerintah mengetatkan aturan peredaran dan promosi rokok. Misalnya, produsen dilarang memproduksi rokok putih dalam kemasan kurang dari 20 batang. Tujuannya, agar konsumen yang duitnya pas-pasan, semakin sulit membeli sebungkus rokok putih.
Produsen rokok juga diwajibkan mencantumkan peringatan kesehatan pada bungkus rokoknya. Tulisan harus tercantum di bagian atas, depan, dan belakang bungkus rokok. Tulisan harus dicetak jelas dan mencolok.
Produsen juga wajib mencantumkan pernyataan, "Dilarang menjual atau memberi kepada anak berusia di bawah 18 tahun dan perempuan hamil".
Pada samping sisi lain kemasan produk, harus terdapat pernyataan, "Tidak ada batas aman" dan "Mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zatpenyebab kanker".
Tak hanya itu, produsen dilarang mencantumkan kata “Light”, “Ultra Light”, “Mild”, “Extra Mild”, “Low Tar”, “Slim”, “Special”, “Full Flavour”, “Premium” atau kata lain yangmengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, dan pencitraan pada produk.
Tata cara pembuatan iklan rokok pun diatur dalam PP ini, termasuk ruangan untuk merokok dipersempit.
Alasan pemerintah mengetatkan aturan peredaran dan promosi rokok, lantaran jumlah perokok di Indonesia sudah pada tahap mengkhawatirkan. Bayangkan, dalam satu dekade ini, usia rata-rata perokok Indonesia dari semula 19 tahun, kini menjadi 7 tahun. Bahkan, The World Health Organisation (WHO) menyebut, pecandu rokok di Indonesia meningkat hingga 600% atau enam kali lipat dalam 40 tahun belakangan.
PP Tembakau ini merupakan aturan turunan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Memang, pemerintah terlambat mengesahkan PP tersebut. Seharusnya, setahun setelah terbit undang-undang, peraturan turunan sudah keluar.
Maklum, PP ini sempat menimbulkan kisruh antara pemerintah dengan produsen rokok dan petani tembakau, termasuk di kalangan menteri sendiri.
Namun, PP yang sudah berumur hampir setahun itu, sepertinya tak punya “gigi”. Sebab, masih banyak perusahaan rokok yang tidak mengindahkan beleid ini. Apalagi, konsumen terus saja membeli rokok. “Semahal apapun harga rokok, konsumen tetap membeli. Apalagi, daya beli masyarakat terus tumbuh,” ujar Akhmad Nurcahyadi, analis AM Capital.
Selengkapnya, artikel ini bisa disimak di majalah InilahREVIEW edisi ke-12 Tahun III yang terbit, Senin, 11 November 2013. [tjs]
Sumber: Inilah.com
Posting Komentar
Anda merasa mendapatkan KEBAIKAN dari postingan ini? SILAHKAN BERKOMENTAR secara santun, bijak, dan tidak menghakimi. TERIMAKASIH telah sudi meninggalkan komentar di sini. Semoga hidup Anda bermakna. amin...