Terjemahkan Blog Ini

Headlines News :
Diberdayakan oleh Blogger.

Channel Youtube

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Saya adalah saya. Bukan ayah saya. Bukan pula anak saya. Saya jangan dihargai karena 'pangkat' ayah saya. Saya juga jangan 'disamakan' dengan anak saya. Akuilah saya apa adanya.

Selamat Datang di Blog Saya, Ahlan Wa Sahlan Bihudzurikum.

Semoga blog ini bermanfaat untuk Anda. Apa hal positif dari Blog ini beritahu teman. Jika ada ada yang kurang beritahu saya agar saya bisa memperbaikinya. Boleh Copas asalkan mencantumkan alamat blog ini. Jazakumullah
Saya sangat berterima kasih Anda sudah berkunjung ke blog saya. Lebih berterima kasih lagi jika Anda meninggalkan komentar pada postingan saya baik berupa koreksi, persetujuan, maupun tambahan ilmu buat saya.
Jika Anda merasa puas dengan blog ini tolong beritahu teman atau saudara agar blog ini bisa lebih dikenal luas dan anda pun Insya' Alloh akan mendapatkan pahala karena menyebarkan kebaikan. Tetapi jika Anda tidak puas tolong beritahu saya. Maturnuwun. Terimakasih. Jazakumulloh khoiral jaza'

Tomat itu Bukan Buah, Tetapi Sayuran. Percaya?

Tomat Itu "Sayuran"

Saya itu akuntan, lulusan FEUI, dengan skripsi tentang pajak (transfer pricing dan tax treaty). Skripsi saya dulu tahun 2002, konon katanya, lebih maju 10 tahun dibanding regulasi yg ada. Tapi apa daya, nasib sy dikenal sebagai penulis, maka orang2 setiap kali melihat sy bicara tentang keuangan, ekonomi pun pajak, hanya memicingkan mata, lantas berkomentar di depan wartawan, “ah, Tere ini cuma salah persepsi! dia salah paham!” atau lebih ngenes lagi, pas dibilangin, “ah Tere ini, dia tidak tahu apa-apa soal itu.”

Tapi tidak mengapa. Saya pernah datang ke sebuah acara dengan seribu peserta, disuruh bicara di sana. Datanglah saya pakai sendal jepit, kaos, celana jeans. Nasib, sy datang terlalu on time, peserta baru separuhnya, jangan tanya kapan dimulai. Acara positif molor. Maka sy duduk nyempil di dekat pintu, njeplak di situ. Panitia berlalu-lalang di dekat saya. Baru satu menit di sana, salah-satu panitia berseru ke saya, “Pak, pak! itu sound system gimana sih? Rapikan dong kabel2nya!” Saya bangkit berdiri, “Iya, baik.” Tidak apalah disangka teknisi yg disuruh2.

Aih, ini prolog tulisan kenapa malah bikin saya pamer. Jelas sekali dua paragraf awal ini pamer dalam skala mematikan. Tapi tidak apa, biasanya sy hapus sebelum diposting, tapi biarkan sajalah, biar kalian tahu, penulis itu juga manusia. Kadang, sehati2 sekalipun dia menulis, se-disiplin apapun dia melarang dirinya pamer, lebay, tetap saja itu muncul. Demikianlah. Setidaknya sy tdk sedang pamer foto lagi sujud rakaat ketiga shalat shubuh.

Nah, kembali ke topik tulisan, apa sih sebenarnya yg hendak sy tulis di postingan ini? Tentang pajak. Sedikit pembuktian, kalau sy ini punya pemahaman pajak yg tidak salah persepsi, apalagi salah paham. Saya punya kasus menarik, yg semoga bisa jadi pelajaran bagi teman2 di ditjen pajak. Ah, saya dulu sempat diterima di STAN loh, yg DIII atau DIV sy lupa, omong2 soal Pajak ini. Sy sudah serahkan ijasah SMA saya, karena ikatan dinas. Tapi karena sy diterima di FEUI juga, sy memutuskan tdk jadi di STAN. Bukan apa2, sy itu penakut sekali. Saking takutnya, sy pernah janji tdk akan jadi PNS, karena sy takut korupsi. Maka berbangga hatilah jika kalian PNS, kalian orang yg berani. Dibutuhkan mental baja tiada tara untuk jadi PNS yg amanah. Saya penakut, sy tidak bisa membayangkan kalau sy jadi ambil di STAN tahun itu, sy satu angkatan sama Gayus itu. Mungkin sebelahan meja di kelas. Mungkin, sebelahan sel juga sekarang. Ampun dah, lagi2 saya melantur kemana2. Duh, Gusti, hari2 ini, eror sekali dunia kepenulisan saya. Semoga pembaca sy tidak ikut eror.

Baik, kembali ke soal apa yang hendak saya tulis. Tahun 1893 di Amerika Serikat, pengimpor Tomat maju ke pengadilan, mereka menuntut keadilan. Karena telah diperlakukan tidak adil. Apa pasalnya? Karena berdasarkan Tariff Act 0f 1883, TOMAT itu didefinisikan sebagai buah-buahan, dan bea cukai/pajak juga memperlakukannya sebagai Tomat. Lah, memang Tomat itu buah, bukan? Kenapa harus diributkan? Secara ilmiah, tomat memang masuk buah-buahan. Sama kayak rapsberry, bluebberry, biri-biri, eh itu domba ding. Tapi masalahnya, kata importir Tomat: TOMAT ITU pas masuk dapur, dia mayoritas jadi bahan masakan, main course, bukan buah yg dimakan. Tanya sama koki2, mereka akan bilang itu sayuran.

Kenapa sih importir ini mengotot maju ke pengadilan. Simpel: pajak masuk buah adalah 20% (misalnya), pajak masuk sayuran adalah 10%. Beda banget pajaknya. Maka mereka tak sudi bayar 20%. Wah, saat importir ini ribut, bikin pengumuman di page facebooknya: mulai besok kami berhenti impor tomat. Hebohlah satu Amerika. Heboh banget. Banyak yg komen, ini si importir benci sama Jokowi, eh, aduh, ngelantur. Kenapa cuma pemerintahan sekarang yg disalahkan. Ini politis. Juga ada yg komen, ini importir baperan banget sih, dasar nggak mau bayar pajak. Dll, dll. Ramai sekali. Termasuk Menkeu juga bikin pernyataan, coba dirjen pajak temui itu importir Tomat, pesan satu kilo tomat sekalian, bungkus, jangan makan di sana. Eh? Aduh.

Tapi karena sudah masuk pengadilan, maka dimulailah proses panjangnya. Setelah proses pengadilan, Supreme Court Amerika Serikat memutuskan: tomat adalah sayuran--terlepas dari fakta dia adalah buah. Karena yg dilihat adalah subtansinya. Silahkan saja profesor botani mau bilang itu buah, tapi karena ini kasus pajak, dan pajak harus diperlakukan adil, maka yg dilihat adalah substansinya. Bahwa fakta tomat dipakai sebagai bahan masakan, seperti halnya sayur2an, maka dia masuk kategori itu.

Dalam perdebatan tentang pajak profesi penulis. Sebenarnya kata kuncinya ada di: passive income. Saya setahun ini, duuh gusti, berdebat kemana2 soal ini. Dan orang pajak, juga berdebat di internal mereka. Ada yg malah berantem sama teman kantornya, hehe. Apa sih masalahnya? Royalti penulis itu selalu dipahami passive income--jadi sifatnya netto. Yg kalau sudah nulis sekali, selesai sudah, penulis bisa kaya raya, selama2nya. Sama kayak Tomat yg dipahami sebagai buah, karena memang bentuknya buah.

Tapi apakah menulis itu begitu? Passive income? Nggak perlu ngapa2in, jadi bukunya, langsung dpt uangnya? Nggak. Siapa bilang jika seseorang punya buku, maka passive income akan mengalir seperti anak sungai? Ayolah, lihat di Indonesia, buku itu usianya paling 6-12 bulandi toko, sekali penulis tersebut berhenti menulis, maka mampet sudah aliran sungainya. Penulis harus terus me-maintain, mengelola, menjaga aliran penghasilan tersebut, dgn terus menulis buku2 berikutnya--agar buku lamanya tetap laku. Dan bicara ttg menulis, itu bukan proses pendek. Buku top yg kalian pegang sekarang, adalah hasil riset bertahun2, ada yg bahkan 8-10 tahun. Akhirnya baru jadi. Pasti laku? Belum tentu. Dari 100 buku yg terbit, hanya 3-5 saja yg sukses. Sisanya, meski sudah habis waktu, tenaga, biaya, air mata, darah, ternyata nggak laku. Enakan jualan kue, bikinnya 30 menit, langsung dapat hasilnya. Bikin buku, duh Gusti, kalau itu buku tdk laku, kan tidak bisa dimakan sendiri kayak bikin kue, numpuk di rumah (kalau indie). Dan ingat bertahun2 proses bikinnya itu mau bagaimana? Dia makan apa, kan penulis tetap butuh makan, mentang2 passive income dia nggak perlu makan saat 5 tahun nulis buku?

Dan apakah penulis itu memang megah sekali penghasilannya? Keliru. Jika harga buku 100, maka sejatinya royalti dia hanya 10. Bahkan buku anak2 di Indonesia, jatahnya hanya 5. Kecciiil sekali. Dan dari 10 atau 5 itu, pun tetap akhirnya dipotong oleh pajak. Yg dibawa lebih kecil lagi. Sadis sekali.

Jika kalian tdk dalam posisi penulis, mungkin susah memahami realitas ini. Kalian hanya melihat betapa megahnya buku2 yg saya baca. Seolah kehidupan penulis sama hebatnya seperti isi buku. Sy juga tahu, orang banyak tetap akan bilang itu passive income, mereka punya argumennya, mereka punya buktinya, dan sy tidak bisa membantahnya. Sama kayak importir tomat tadi, mereka akan bilang: kami ini pelaku industri, kami tahu persis, orang2 beli tomat karena untuk bikin masakan. Kami tahu ini buah. Tahuuu sekali, tapi pembeli kami memperlakukannya sebagai sayur, maka perlakukanlah seperti sayuran . Hakim Supreme Court menggunakan argumen itu, mereka memutuskan tomat sebagai sayuran. Kasus selesai.

Dalam kasus pajak profesi penulis ini, sy tdk tahu akan seperti apa keputusan orang2. Jika mereka mau menganggap ini sebagai passive income, tidak boleh pakai NPPN, kena pajak 30% di layer tertingginya saat ngisi SPT, tidak masalah. Sy ihklas menerimanya. Biarlah begitu. Berarti perjuangan ini berakhir sia-sia. Tapi itu bukan kiamat. Karena penulis selalu bisa menulis tanpa harus menerbitkan buku. Sy bisa bagikan naskah nvoel baru secara gratis di page ini, dan memang sudah dilakukan secara terus-menerus. Jika kalian adalah pengikut page saya sejak lama, kalian tahu sekali sudah 10 novel yg dibagikan gratis di sini. Bahkan novel yg belum diterbitkan, dibagikan saja. Lantas penulis dapat apa dong kalau dibagikan gratis? Duh, Nak, penulis itu tetap akan baik2 saja meski tdk ada yang membayar karyanya. Bahkan jika orang sibuk membajak bukunya, orang2 memajakinya gila2an, dia tetap bisa terus menulis--kalau mau menulis. Bagikan gratis. Kasus selesai.

Apakah tomat itu buah atau sayuran? Kalian tahu jawabannya sekarang.Tomat itu buah. Tapi dalam perlakuan pajak, tomat itu adalah sayuran. Dikecualikan. Bisa. :)
*Tere Liye
**kalau ada yg salah ditulisan ini, mohon diperbaiki dan dimaafkan Tere Liye. sy hari2 ini banyak dosanya, bikin orang2 bertengkar. bikin orang2 ilfil.
**kalau kalian bersedia, silahkan dishare banyak2, mungkin bermanfaat.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Guru GO! - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger