Terjemahkan Blog Ini

Headlines News :
Home » , , , , » Semua Lelaki Ingin Jadi Raja

Semua Lelaki Ingin Jadi Raja

Written By Guru GO on 20 Mei 2009 | 13.20

Aku masih ingat ketika berta'aruf dengan calon istriku di rumah ustadz Muhammad Ilyas, Lc, M.Pd. Ketika itu kami saling menjajagi bagaimana kelak membangun rumah tangga yang ideal. Aku ingin hidup bersahaja-sederhana, tetapi dia berprinsip bahwa orang Islam itu wajib kaya. Dia mengatakan:

“Aku sudah terbiasa hidup susah sejak kecil, maka tidak ada salahnya jika aku punya keinginan untuk menjadi kaya raya.”



Masih ingat betul dalam memoriku, dia lalu menyebutkan kakaknya yang menikah dengan seorang ahli perminyakan. Kakak iparnya itu kerja di perusahaan asing dan bergajikan puluhan juta rupiah. Aku miris, karena gajiku saat itu hanya 175.000,00 per bulan. Ingat per bulan! Bukan per hari! Lalu dia menyebutkan kakak kandungnya yang jadi pegawai perpajakan dan bergaji besar. Dalam hati aku bergumam, apa aku bisa seperti mereka?

“Baiklah. Aku juga tidak menolak kekayaan. Aku ingin meneladani bapakku, KH. Subchan As, yang meskipun (katanya) punya uang banyak, tetapi tidak pernah tampak sebagai orang kaya.”

Bukti bahwa bapakku kaya adalah beliau terkenal sebagai seorang “banker”. Yakni pusat perpinjaman hutang orang-orang. Dari mulai saudara yang mau punya gawe, sampai tetangga yang ingin beli mobil, semuanya hutang ke bapakku. Dan semuanya hutang lunak. Barangkali inilah yang menjadikan orang-orang itu “hobi” berhutang pada bapakku. Di desaku tidak seorang pun yang tidak kenal dengan beliau akan kemudahannya dalam meminjami uang.

Yang lebih membuatku tecengang adalah setelah beliau meninggal. Ternyata, banyak juga orang-orang yang penampilannya kaya (meskipun tidak kaya raya, tapi tergolong rumahnya lebih mewah daripada rumah kami yang peninggalan jepang) ternyata punya hutang dengan bapakku. Ada juga yang hutang sampai bertahun-tahun tidak dibayar (bahkan sampai ketika nilai uang rupiah turun drastis).

Istri Idaman
Ketika ditanya tentang kriteria istri yang menjadi impianku, secara lugu aku menjawab:

“Aku ingin istri seperti Teh Ninih, istrinya Aa Gym.”

Mengapa aku ingin istri seperti Teh Ninih? Naluriku mengatakan, beliau adalah istri yang solihah. Pandai membahagiakan suami. Memberikan keturunan yang banyak. Penyabar dalam mendidik anak. Dan tentu saja, cantik. Dan bukankah Rasulullah menyuruh kita untuk mencari istri yang penyabar dan banyak memberikan keturunan?

Sebenarnya, sejak menjadi mahasiswa, aku ingin mendapatkan istri yang: secara fisik: tinggi, (karena bagiku wanita yang tinggi itu menarik), tidak berasal dari satu kota, tidak satu universitas, tidak satu almamater, tidak satu organisasi dan tidak pernah ketemu sebelumnya. Dan alhamdulillah keinginanku terkabul.

Tapi memang terkabulnya keinginan ini membutuhkan kesabaran yang tinggi. Berbeda dengan orang yang menikah dengan orang yang sudah dikenalnya sejak lama. Bahkan ada juga yang menikah dengan teman satu universitas, satu fakultas, satu kelas, dan satu kampung. Dan satu kelas di Sekolah Dasar dulu, karena memang mereka teman sejak kecil.

Menikah dengan orang yang belum dikenal sangat butuh penyesuaian yang tidak sebentar. Ada pasangan (model ta'aruf seperti saya juga) yang masih juga terbentur komunikasi meski sudah menjalani biduk rumah tangga selama sepuluh tahun. Pasangan yang belum saling kenal kudu belajar bagaimana memahami emosi pasangan. Bagaimana bersikap jika pasangan marah. Bagaimana bertindak jika musyawarah menjadi deadlock. Bagaimana mencairkan kembali kebekuan. Dan lain sebagainya.

Sedangkan orang yang menikah lewat pacaran lebih dulu, pasti tidak butuh pemahaman banyak dengan pasangangannya. Karena ia sudah melewati semuanya ketika pacaran dulu. Ia tidak perlu belajar memadamkan kemarahan istrinya, karena sudah tahu caranya ketika pacaran. Jangankan belajar memahami emosi istrinya, selembut apakah kulit istrinya pun iamungkin sudah hafal. Bahkan ada juga yang sudah mengkredit adegan begituan. Nau'dzubillahi min dzalik.

Namun, menikah dengan pasangan hasil ta'aruf banyak asyiknya juga. Kita bisa dibuat surprise dengan pasangan kita. Ada pasangan yang, jangankan adegan begituan, untuk melihat seberapa panjang rambut istrinya saja ia butuh waktu 2 minggu. Itu pun dengan cara ditarik dari belakang, karena istrinya malu jika rambutnya dilihat. Dan subhanalloh, sang suami terpana, ternyata rambut istrinya panjang dan indah. Yang lain-lain? Tentu lebih indah.

Raja Kecil di Rumah
“Aku ingin menjadi Raja Kecil di rumah.” Begitu kataku ketika ditanya bagaimana muamalah di dalam rumah tangga kita nantinya.

Sebagaimana seorang Raja, seperti lagunya Riff itu, ia harus dilayani dengan pelayanan yang memuaskan. Naif memang. Keinginan ini secara tidak langsung menempatkan istri sebagai pelayan. Bukan sebagai pendamping hidup. Pelayan adalah orang yang melayani tuannya, yang jika pelayanannya tidak memuaskan, maka sang tuan berhak marah. Dulu aku tidak sampai berpikiran sejauh itu, sehingga polos kukatakan kata-kata seperti itu .

Aku tidak pernah membayangkan bahwa ternyata menjadi seorang istri itu sangat dan sangatlah berat. Bisa dibayangkan. Ia harus bangun pagi-pagi untuk mencuci baju, mencuci peralatan makan, menyapu, mengepel, menyetrika, dan memasak. Belum lagi tugas merawat anak-anak yang sangat merepotkan. Jadi sangat naif jika aku ingin juga dilayani layaknya anak kecil yang belum mandiri seperti anakku Hamas.

Harisul Marma Islam (Hamas), anak keduaku, jika ingin susu, tinggal minta. Ingin pipis, minta diantar. Ingin makan, minta disuapin. Ingin tidur, minta dikeloni. Ingin mandi, minta dimandiin. Tegasnya, minta ini itu tinggal tunjuk dan ngomong. Laiknya seorang raja bukan? Sebenarnya boleh-boleh saja lelaki ingin menjadi raja asalkan istrinya juga menjadi permaisuri. Sehingga sang istri juga mendapatkan pelayanan dari para dayang. Bukan sang istri sebagai dayang bagi suaminya.

Dalam sebuah artikel yang saya tulis untuk sebuah majalah (saya lupa nama majalahnya), saya pernah katakan: “Istri bukanlah Babu, Pramugari dan Pelacur di rumah kita. Ia adalah pendamping hidup kita. Bahasa jawanya Garwo (sigaraning nyowo) atau separuh nyawa kita. Apa yang bisa kita lakukan sendiri, lakukanlah. Apa yang kita ingin dilakukan oleh istri, mintalah dengan baik. Sebaliknya, istri bukanlah sang Ratu yang berhak mengatur suaminya. Ia tidak pantas berokang-okang kaki, meskipun ia punya pembantu.”

Buat apa istri, kalau bajuku dicucikan wanita lain? Buat apa istri kalau makananku adalah masakan wanita lain? Buat apa istri kalau aku memakai baju hasil setrikaan wanita lain?

Setiap lelaki ingin menjadi Raja. Tapi tentunya raja yang sederhana. Raja yang bijaksana. Raja yang tidak asal perintah. Raja yang adil. Raja yang suatu saat siap diktritik oleh rakyatnya. Raja yang sanggup menjadi pelindung. Bukan Raja yang bertindak semena-mena. Wallahu a'lam bis showab. (www.gurugo.blogspot.com)
Share this post :

+ Komentar + 7 Komentar

21 Mei 2009 pukul 02.33

setuju sekali menjadi raj yang tidak semena-mena

21 Mei 2009 pukul 08.37

Wah, saya selalu suka baca artikel di guru go, selalu ada yang baru. Selalu ada ilmu baru, selalu fresh.

21 Mei 2009 pukul 10.51

@endar: Ya semoga kita bisa.
@Fans: Trimakasih pujiannya dik. Semoga kita selalu bisa berkarya yang lebih baik

21 Mei 2009 pukul 13.52

hidup hanya sekali kok ora sugih... rugi polll

31 Mei 2009 pukul 18.26

Membaca tulisan anda....
sayajadi semakin tahu bagaimana caranya menjadiistri yang baik kelak....

6 Juni 2009 pukul 06.04

@Titan22: Alhamdulillah. Semoga bermanfaat ya mbak?

Anonim
27 Agustus 2011 pukul 08.50

AKU INGIN PUNYA ISTRI DG CARA BERTA'ARUF DULU. ADA YG BISA BANTU ?

Posting Komentar

Anda merasa mendapatkan KEBAIKAN dari postingan ini? SILAHKAN BERKOMENTAR secara santun, bijak, dan tidak menghakimi. TERIMAKASIH telah sudi meninggalkan komentar di sini. Semoga hidup Anda bermakna. amin...

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Guru GO! - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger