Terjemahkan Blog Ini

Headlines News :
Home » , » Kalau Dokter Boleh Mengeluh

Kalau Dokter Boleh Mengeluh

Written By Guru GO on 02 Desember 2009 | 12.47

Tulisan ini saya dapatkan dari group cerita motivasi di facebook. Ada baiknya saya postingkan di sini supaya kita semua sadar tentang hal ini.


“I solemnly pledge myself to consecrate my life to the service of humanity”


Sebelumnya, saya sampaikan dukungan sepenuhnya kepada Ibu Prita Mulyasari dan keberadaan Cause ini, semoga dapat memberikan wacana yang menarik perhatian, juga tindakan, dari para pengguna Facebook maupun pihak yang berwenang, terhadap satu dari sekian banyak kasus sengketa yang marak terjadi mengenai layanan kesehatan Indonesia, baik yang mengemuka maupun yang tak terpublikasikan. Perkenankanlah saya sedikit beropini, berdasarkan dari kacamata sempit sebagai seorang dokter yg saya alami.


Saya seorang dokter. Dilantik dan mengucapkan Sumpah Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2007. Baru sepersekian detik memang pengalaman saya bila dibanding ratusan ribu sejawat senior di Indonesia. Dan baru sepersekian detik itu pulalah saya melangkah dalam sebuah hubungan suci antara dokter dengan pasien. Ya, hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan suci antara manusia yang membutuhkan pertolongan dengan manusia pemberi tolong, bukan transaksi ataupun jual beli, itulah setidaknya yang diajarkan kepada saya selama kuliah.



Namun sepersekian detik itulah mata saya terbuka, bahwa dunia layanan kesehatan yang baru saya masuki ini tidaklah seindah teori yg terajarkan. Bilamana masyarakat awam menikmati satu-dua kasus sengketa layanan kesehatan (yg kemudian dgn mudahnya memberikan salah-julukan “malpraktek”) melalui publikasi media harian — kami menghadapi dan berjalan di titian sempitnya puluhan kali dalam sehari. Titian yg kuat lemahnya terbangun saat kami menjalani pendidikan, dan sedikit-demi-sedikit tergerus pengaruh sistem dan lingkungan, juga kebutuhan materi untuk penghidupan.


Pembaca yg terhormat, apa yg anda pikirkan ketika anda sakit dan datang ke dokter? berapa banyak dari anda yg berpikir bahwa dokter adalah layanan penjual jasa? layaknya bengkel, penjual pulsa, penjual gado-gado? dimana anda mengatakan apa yg anda butuhkan, kemudian dokter memberikan apa yg anda butuhkan, kemudian anda membayar, kemudian anda pulang dgn kebutuhan yg telah terpenuhi?


Itulah sistem yg telah terbentuk dan kita jalani saat ini. Sistem telah menempatkan dokter (juga dokter gigi, perawat dkk) sebagai layanan penjual jasa. Jual-Beli! transaksi antara penjual dan pembeli. Berbanggalah, Indonesia hanya satu penjiplak sistem transaksional yg (agak kurang) sukses. Lihatlah negara tetangga kita Singapura yang luar biasa sukses, atau cetak birunya di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.


Dengan adopsi pola sistem jual-beli jasa kesehatan, maka dokter dicetak sebagai alat penjual jasa (baca= mesin). Penjual jasa yg sukses cenderung dinilai berdasar cakupan konsumen, kepuasan konsumen terhadap layanan, dan tentunya keuntungan yang diterima oleh penjual layanan tersebut. Berapa banyak dari anda yang berpikir bahwa dokter yg bagus adalah dokter yg pasiennya banyak, pasiennya banyak yg sembuh dan pulang dengan bahagia (setimpal dengan bayaran yg diberikan), dan dokternya menghasilkan banyak uang dari apa yg dikerjakannya? berapa banyak dari anda yg berpikir bahwa semakin terkenal dan megah RS semakin baik pula angka kesembuhannya? berapa banyak dari anda yg berpikir bahwa berobat ke RS di negara tetangga lebih menjanjikan kesembuhan, setimpal dengan harganya yang menawan? berapa banyak dari anda yang berpikir bahwa dokter asing lebih berkualitas dari dokter Indonesia (seperti alat elektronik saja ya)? berapa banyak dari anda yang berpikir dokter spesialis lebih pandai dari dokter umum biasa?


Lalu apa yg terjadi bila seandainya layanan itu mengecewakan? tak memberi kesembuhan justru kesakitan? sudah dibayar, bukannya sembuh malah tambah penyakit. Sistem transaksional yg dianut tersebut memberi peluang tuntutan kesalahan yang berujung pada permintaan pemberian ganti rugi materi bukan?. Maaf bila dramatisir dari saya membuat dokter benar-benar mirip bengkel motor, “garansi 3 hari, bila rusak berlanjut kami akan mengganti”. Anda tidak salah, pembaca yg budiman. Sistemlah yang cenderung menyusun sudut pandang sebagian dari anda menjadi sudut pandang seorang konsumen. Dan itu dibenarkan dengan hukum dan perundangan yang berlaku.


Rupanya sistem tersebut tidak hanya membentuk pasien menjadi bercara pandang konsumen yang membeli suatu layanan. Sistem layanan penjual jasa kesehatan tersebut juga berpengaruh terhadapi DOKTER dan para pemberi jasa kemanusiaan pula. Sadarilah bahwa dokter dan penyedia layanan kesehatan (klinik, RS) telah memposisikan diri mereka sebagai penjual. Orientasi beranjak dari kemanusiaan menjadi BISNIS.


Lihatlah berapa banyak dokter, klinik dan RS yang berupaya menjaring pasien sebanyak-banyaknya. Tebar iklan di mana-mana. Seandainya papan nama praktek dokter tak ada aturan ukurannya, pastilah di jalan-jalan kota anda penuh dengan baliho bertulis nama dan alamat dokter seisi kota. Seperti hanya RS-RS di negara tetangga yang jor-joran promosi di kantor-kantor para pengusaha.


Lihatlah berapa banyak dokter, klinik dan RS yang berupaya memberikan layanan luar biasa mewah bagaikan istana, fasilitas hotel bintang lima, memberi nama dengan embel-embel “internasional” yg membahana, melengkapi peralatan penunjang diagnosis dengan kecanggihan luar biasa, agar pasien tertarik untuk periksa di sana. Semakin banyak pasien semakin lancar uang mengalir di bisnis kerumahsakitan.


Lihatlah berapa banyak dokter, klinik dan RS yang berupaya mentarget angka kesembuhan dengan menghalalkan segala cara. Melacak diagnosis mengandalkan aneka pemeriksaan laboratorium yang merajalela tak berguna, padahal hanya demam dan varicella biasa. Justru pasien malah merasa bangga, dokternya memeriksa banyak parameter laboratorium karena teliti. Karena teliti atau tidak terampil memeriksa dan takut salah diagnosis? defensive medicine berkembang mengikuti pola di Amerika. Lagipula, dokter cenderung TAKUT PASIEN TIDAK MERASA SEMBUH DAN TIDAK KEMBALI, sehingga membombardir dengan segepok obat plus antibiotik, padahal jelas-jelas infeksi viral. Ketahuilah juga bahwa 90% penyakit selesai di level dokter keluarga, hanya dengan sedikit obat simptomatik ringan, ramah tamah komunikasi-edukasi, dan rawat rumah dengan istirahat-nutrisi yang cukup! — menurut pendapat saya termasuk kecurigaan demam pada Ibu Prita Mulyasari (ilustrasi pendekatan berdasar surat pembaca beliau yg dimuat).


Lihatlah berapa banyak dokter, klinik dan RS yang berupaya mencari untung sebesar-besarnya. Berapa banyak dari anda yang setiap kali ke dokter selalu diberikan obat bermerek nan mahal? atau justru anda yg meminta karena menurut anda yg bermerek dan mahal itu lebih baik? tentu saja anda akan membuat para dokter, termasuk saya, sangaat-sangaaat berbahagia! karena bila kami menjual obat paten banyaak, maka fee-peresepan dari perusahaan itu juga banyaak! bahagialah kami. Berapa banyak kerabat anda bangga ketika dilakukan operasi? atau justru minta dioperasi ketika patah tulang? padahal biaya pembelian plate/pen platina kami lipatkan 4x dari harga distributor, plus kami mendapat uang jasa medik operasi, padahal patah tulang tersebut sebenarnya cukup direposisi dan immobilisasi dengan plaster-cast (gips) sederhana?. Berapa banyak kerabat anda yang merasa telah menjalani operasi pengangkatan appendiks (usus buntu) dengan sukses? padahal berdasar hasil pemeriksaan patologi anatomi dari jaringan usus buntu tersebut ternyata hanya radang ringan biasa, yang tidak butuh dioperasi?


— anda hanya tidak tahu saja, seandainya kami membukukan berbagai jenis kecurangan dapat yang kami lakukan pada anda, mungkin akan lebih tebal daripada kamus besar Bahasa Indonesia; karena kebanyakan dari anda justru bangga ketika kami curangi — canda


Lihatlah bagaimana Pemerintah memperlakukan dokter dan pasien layaknya konsumen dan produsen?. Dokter dicetak sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas, semata demi mengejar rasio jumlah dokter dengan jumlah penduduk. Pendidikan kedokteran beralih dari institusi suci pendidik menjadi lahan bisnis. Cobalah anda bertanya, lebih mudah mana sekarang masuk ke Fakultas Kedokteran dengan ujian atau membayar sumbangan? ketahuilah, lebih mudah untuk menjadi dokter bila orangtua anda kaya. IDI mencoba memberlakukan Surat Tanda Registrasi dan kewajiban ujian untuk menyaring kualitas lulusan dokter yang tercetak; tapi apa yang terjadi — soal ujian yang terlalu gampang dengan passing grade yang terlalu rendah untuk mengakomodir “mereka yang masuk Fakultas Kedokteran bukan karena kepandaian otak!”. Bullshit! (maaf) makin banyak dokter goblok berkeliaran. Dapatkah anda wahai para pasien membedakan mana dokter penjahat dan mana dokter yg lurus benar?


BAGAIMANAKAH POSISI DOKTER-PASIEN YANG DIAJARKAN (setidaknya kepada saya)


Saya bukanlah dokter yang merasa paling suci dan paling benar, saya telah banyak melakukan kesalahan. Saya juga dokter yang bodoh, bukanlah dokter dengan IP cumlaude untuk mengingat secara detil kuliah etika kedokteran yang diajarkan sejak semester satu dan selalu diulang-ulang hingga saya lulus. Setidaknya yang saya ingat akan saya gambarkan sebagai ilustrasi gampang berikut:
Adakah teman sepermainan anda sejak SD yang menjadi dokter? bilamana anda bertemu dengannya? Ya, hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan sahabat. Sahabat yang sedang sakit meminta tolong sahabat lain yang dapat mengobati sakitnya. Hubungannya adalah SAKRAL, dimana sang sakit menyerahkan segenap raganya untuk diperlakukan sedemikian rupa oleh penyembuh. SAKRAL karena sang sakit dengan sendirinya MEMILIH kepada siapa raganya DIPERCAYAKAN. SAKRAL karena sang penyembuh MAU DAN MAMPU menerima kepercayaan dari sang sakit.

Atas landasan itikad percaya satu sama lain, dokter dan pasien menjalin hubungan. Bukan berdasar atas siapa melayani siapa, siapa pembeli dan siapa penjual. Dengan adopsi pola hubungan konsumen-penyedia jasa tersebut, menurut etika kedokteran, justru merendahkan martabat pasien sebagai obyek, sebagai benda, sebagai motor bila itu bengkel.

Kesepakatan untuk mengobati HANYA BOLEH DILAKUKAN bila dokter dan pasien sudah terikat percaya satu sama lain. Oleh karena itu, jalinan komunikasi harus terbentuk SEBELUM proses pemeriksaan dan terapi dilakukan. Maka dari itu, kenalilah doktermu terlebih dahulu (bagi pasien) dan kenalilah dulu pasienmu (bagi dokter), lalu jalinlah hubungan, jalin kepercayaan. Kesepakatan-kepercayaan inilah dasar vital bagi berlangsungnya etika kedokteran dengan baik. Kenyataannya di lapangan? sudahkah anda melakukannya? ini adalah dasar lhoo… kok mau-maunya anda menyerahkan hidup anda pada orang yang anda tidak percaya? bahkan anda tidak kenal? bagaimana kalau ternyata yang anda berikan kepercayaan hidup anda itu maling pemburu harta belaka? bagaimana anda tahu dia maling? cuma gara-gara RS megah dan canggih ala negara tetangga lalu anda percaya mereka bukan maling? konon maling sekarang perlente lhoo… mau-maunya ditipu.

Itikad kepercayaan dan etika kedokteran, sebenarnya sudah ada jauuh sebelum UU Praktek Kedokteran kita disahkan. Pada hakikatnya, ia seharusnya sudah lebur ke dalam jiwa setiap penyelia jasa kemanusiaan. Ketika ijab-kabul kepercayaan itu terjadi, etika kedokteran jauh lebih dapat dilaksanakan daripada berdasar tansaksi jual-beli, karena pelaksanaan etika kedokteran yang benar butuh hubungan sangat mendalam antara dokter pasien. Coba lihat cuplikan populer mengenai etika medis yang penjelasan panjangnya anda dapat temukan dengan mudahnya di situs terkenal http://en.wikipedia.org/wiki/Medical_ethics



* Autonomy - the patient has the right to refuse or choose their treatment. (Voluntas aegroti suprema lex.)
* Beneficence - a practitioner should act in the best interest of the patient. (Salus aegroti suprema lex.)
* Non-maleficence - “first, do no harm” (primum non nocere).
* Justice - concerns the distribution of scarce health resources, and the decision of who gets what treatment (fairness and equality).
* Dignity - the patient (and the person treating the patient) have the right to dignity.
* Truthfulness and honesty - the concept of informed consent

dapatkah mereka terlaksana tanpa hubungan saling percaya yang harmonis antara dokter dengan pasien?

Hubungan dokter dan pasien hanya dan hanya akan tercipta bila 6 asas tersebut terpenuhi. Bila satu saja dari asas tersebut tidak terlaksana, maka yg pasti hubungan tersebut tidak layak disebut sebagai hubungan antara dokter dan pasien. Sebagai contoh, dalam kasus Ibu Prita Mulyasari, sudahkah 6 asas tersebut terlaksana? sudahkah hubungan antara dokter dgn Ibu Prita layak disebut hubungan dokter pasien? adakah diawali dengan deal saling percaya antara dokter dan pasien? (yang ada adalah Ibu Prita menduga bahwa RS ybs “tampaknya” layak dipercaya, sedangkan RS tersebut menerima pasien “seperti biasa”: sebagai pembeli jasa). Dalam kasus Ibu Prita Mulyasari, kalau boleh saya lancang, saya akan menamakannya hubungan pedagang dengan pembeli (biasanya pembeli yang banyak menuntut ke pedagang, yang ini justru pedagang menuntut pembeli karena pencemaran nama baik, yang dapat mengakibatkan dagangannya mungkin tidak laku), bukan hubungan antara dokter dengan pasien.

Kepercayaan diawali dengan kenal tidaknya kita dengan sesuatu yg akan kita berikan kepercayaan. Kendala yg dihadapi di negara kita adalah pasien sama sekali tidak mengenal siapa yg diberikannya kepercayaan, dunia seperti apa tempat ia sandarkan sepenuhnya dirinya. Pasien yang buta terhadap dunia medis selalu berjumlah jauh lebih banyak daripada yg melek, terlebih di negara kita. Keterbatasan akses informasi, stigma kedewaan dokter dan RS (always work in unknown ways), strata ekonomi yang lemah, kondisi sosial dan budaya, menyebabkan rendahnya pula kesadaran masyarakat untuk mempelajari seluk beluk dunia medis. Ilmu medis dianggap ilmunya dokter saja, si penyembuh serba bisa. Inilah yang menyebabkan msyarakat cenderung “pasrah bongkokan” kepada dokter, menyerahkan nasib sepenuhnya pada siapapun dokternya, apapun RSnya, apapun tindakannya. Inilah penyebab fenomena gunung es “kejahatan dan kesalahan medis” : yang masyarakat tahu dan permasalahkan hanya ujung mungilnya saja, sebagian besarnya yang terletak di bawah permukaan air masyarakat tak pernah tahu, hanya dokter yang tahu. Dan banyak dokter yang bukannya membantu menjadi penyedia akses informasi, namun justru menjadikan keawaman pasien ini sebagai lahan mencari untung. Tahukah anda, 90% kasus ISPA disebabkan karena virus, tidak perlu terapi antibiotik? banyak dokter sengaja memberikan antibiotik bukan atas indikasi namun demi fee-peresepan. Tahukah anda bila dokter SENGAJA melakukan terapi tanpa indikasi ia dapat dituntut malpraktek (pure malpractice)?

Bila tak tahu atau tak mau tahu dengan dunia medis, rasa percayapun tak tersepakati, tentu mustahil untuk mencapai terpenuhinya 6 asas tersebut. Mana mungkin asas autonomy terlaksana bila pasien tak tahu apa yg terjadi pada dirinya dan tindakan medis apa saja yg dpt dilakukan oleh dokter?

Mari kita berandai2, seandainya hubungan antara Ibu Prita dengan dokter dan RS ybs memenuhi 6 asas tersebut. Alangkah mulianya dokter yang memperkenalkan dirinya di depan pasien, mengambil persetujuan pasien atas dirinya sebagai tempat sandaran kepercayaan. Alangkah mulianya seorang dokter yang memberi waktu luang pada orang yang ingin percaya padanya untuk bertanya banyak mengenai kondisi sakitnya. Alangkah mulianya seorang dokter yang menjelaskan segala macam pilihan tindakan dan resikonya sehingga bahkan pasien sendiripun dapat memilih dengan sendirinya tindakan apa yg akan dilakukan pada dirinya. Alangkah mulianya seorang dokter yang jujur memohon maaf dan menjelaskan bahwa diagnosis belum dapat ditegakkan meski segala pemeriksaan telah dilakukan, daripada bersikap maha tahu bagaikan dewa. Alangkah mulianya seorang dokter yang dengan jujur berkata “saya tidak mampu” daripada asal menerka dan beraksi coba-coba. Alangkah mulianya seorang dokter yang tulus memohon maaf karena meskipun telah berusaha dengan segala cara, ia tetap gagal menangani pasiennya. Ya, bagaimanapun dokter adalah manusia, bukanlah sosok sempurna.

… saya pikir, tak perlulah berobat ke RS berlabel Internasional, cukup di Puskesmas desa, bila semua dokter di Indonesia tidak hanya pandai, namun berhati mulia seperti ini. Ya, mungkin menurut anda yang saya ceritakan hanya idealita mimpi, saya juga beranggapan demikian. Namun, apakah anda tidak mau mewujudkan mimpi ini dalam kenyataan? mari kita benahi, mulai dari titik ini, satu hal yang kecil namun berarti: cara pandang kita, mulailah menempatkan dokter dan pasien dalam hakikat posisi yg sebenarnya. Dokter dgn pasien, bukan pedagang dengan pembeli.

KESIMPULAN

Yah, lagi-lagi hanya bisa menyarankan…

Kepada para pasien: hubungan antara dokter dengan pasien bukanlah hubungan jual-beli. Kalau anda beli beras, bolehlah anda cukup amati berasnya saja. Tapi ini masalah nyawa, kenalilah dokter dan sakit anda sebelum menyerahkan raga anda. Peganglah selalu bahwa anda punya hak untuk memilih siapa dokter anda percaya, yang menjunjung tinggi 6 butir asas etika kedokteran diatas. Carilah dokter-dokter yang lurus dan benar, masih banyak dokter seperti itu di Indonesia, banyak dari mereka justru anda dapatkan bukan di RS mewah dan berkelas, hanya praktekan mungil di sudut jalan yang sepi terpencil. Jangan hanya mengamati dari mewah dan canggihnya iklan dan kesan. Pengobatan bukanlah benda yang diperjualbelikan, namun masalah kepercayaan.

Kepada para dokter dan penyedia layanan kesehatan: bertobatlah, kembalilah ke jalan yang benar. Lihatlah quote di baris paling atas — itu adalah kutipan sumpah anda ketika dilantik menjadi dokter; ingatlah bahwa hidup anda telah anda serahkan untuk kemanusiaan, bukan untuk bisnis atau nyambi bisnis. Kalau mau berbisnis, jadilah pedagang, bukan dokter.

Kepada para pembaca: mohon maaf sebesarnya bila ada salah kata yang meyakiti hati dan menyinggung perasaan. Ini hanya opini, bukan mencoba sok suci, sok idealis, tidak bermaksud menggurui atau menyinggung pihak manapun. Saya hanya dokter yang baru saja menetas, masih tertatih, mencoba untuk berjalan di jalan yang idealis. Mohon bimbingan dan koreksi agar saya tetap di jalan yang lurus dan benar.

Pelajaran ini berguna banget buat kita semua, karena kita ga pernah tau kpn kita akan sakit & mungkinkah kita selalu sehat.
Buat para member yang memang dari dunia medis, saya minta maaf bila tulisan ini ada yang menyinggung kalian tapi demi Tuhan bukan itu maksd saya. Saya hanya ingin berbagi hal yang bermanfaat buat kita semua.

Share this post :

+ Komentar + 3 Komentar

7 Desember 2009 pukul 15.17

menarik sekali, sudah sekian lama gambaran dokter dalam tulisan di atas tersimpan dalam hati ..., tapi saya coba selalu menghibur diri, karena saya juga punya banyak teman dokter yang saya yakin lebih tulus dari yg lainnya

11 Desember 2009 pukul 15.20

Ya mudah-mudahan dokter2 kita terutama yang Islam bisa betul3 menjadi penolong, bukan menjadi monster yang menguras keuangan kita. Amiinnn3x

18 Desember 2009 pukul 00.49

halo salam kenal...

Posting Komentar

Anda merasa mendapatkan KEBAIKAN dari postingan ini? SILAHKAN BERKOMENTAR secara santun, bijak, dan tidak menghakimi. TERIMAKASIH telah sudi meninggalkan komentar di sini. Semoga hidup Anda bermakna. amin...

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Guru GO! - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger